kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rapor Vale Indonesia masih susah jadi biru


Kamis, 08 Maret 2018 / 10:46 WIB
Rapor Vale Indonesia masih susah jadi biru
ILUSTRASI. Smelter bijih NIKEL Vale Indonesia Tbk INCO


Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penguatan harga nikel global nyatanya tetap belum mampu mengerek kinerja PT Vale Indonesia Tbk. Emiten dengan kode saham INCO di Bursa Efek Indonesia (BEI) ini masih harus menanggung rugi bersih sebesar US$ 15,27 juta sepanjang tahun lalu.

Sebenarnya, jika dilihat secara kuartalan, kinerja INCO mulai membaik. Pada kuartal IV-2017, INCO mencetak laba bersih US$ 4,4 juta. Sehingga, total kerugian INCO di tahun lalu cenderung menyusut.

Harga rata-rata nikel memang naik 10% sepanjang 2017. Sayangnya, kinerja INCO tersandera beban operasional yang juga mendaki, lantaran naiknya harga batubara dan minyak.

Tapi di tahun ini, sentimen negatif tersebut diperkirakan akan mulai mereda. Kinerja INCO bisa positif karena harga nikel global diproyeksi bakal lebih berotot.

Sukisnawati Puspitasari, analis MNC Sekuritas, memperkirakan, INCO akan kembali membukukan laba bersih pada tahun ini. Bahkan, ia optimistis laba bersih INCO mampu melesat hingga mencapai US$ 75,6 juta.

Pendapatan INCO diprediksi mencapai US$ 785 juta. "Kinerja positif ini didorong dari penguatan harga nikel, sejalan permintaan yang masih besar," ujar Sukisnawati pada Kontan.co.id, Rabu (7/3).

Tekanan beban operasional pun seharusnya sudah mulai mereda. Menurut Sukisnawati, penguatan harga batubara dan minyak cenderung melambat pada tahun ini.

Sejak awal Februari, harga batubara memang melandai. Ia memprediksi, harga batubara tahun ini akan ada di kisaran US$ 85,88–US$ 100 per metrik ton. "Sebaliknya, harga nikel terus menguat," ujar dia.

Masih ada tekanan

Tingkat utang INCO juga masih rendah. Total liabilitas INCO turun dari US$ 390,9 juta pada 2016 jadi US$ 365,19 juta di 2017 lalu.

Namun, Sukisnawati bilang, INCO masih tetap perlu mewaspadai pergerakan harga batubara dan regulasi pemerintah. Terutama, soal pelonggaran ketentuan ekspor nikel dengan kadar di bawah 1,7%. Hal ini dikhawatirkan berpeluang menambah pasokan nikel global dan menahan laju penguatan harga.

Di sisi lain, analis Kresna Sekuritas Robertus Yanuar Hardy menilai, naiknya harga jual nikel belum tentu bisa menopang kinerja INCO tahun ini. Pasalnya, untuk bisa mengolah nikel berkadar tinggi untuk dieskpor kepada Vale Canada dan Sumitomo Metal, INCO membutuhkan bahan bakar berkadar sulfur tinggi.

"Sehingga, ongkos energi berpotensi naik lebih besar," ujar dia. Alhasil, Robertus memperkirakan kinerja INCO  tahun ini belum akan banyak bergerak dari tahun lalu.

Yuni, analis NH Korindo Sekuritas, menilai, INCO perlu melakukan strategi hedging atau lindung nilai untuk mengurangi dampak volatilitas harga batubara dan minyak.

Sukisnawati masih yakin prospek INCO ke depan cerah. Ia merekomendasikan buy INCO dengan target harga Rp 3.620. Yuni juga merekomendasikan buy dengan target harga Rp 3.550. Sedang Stefanus Darmagiri, analis Danareksa Sekuritas, memberi rekomendasi hold INCO dengan target harga Rp 3.100 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×