Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar saham Indonesia merosot lagi untuk keempat hari. Kemarin (7/3), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpangkas 2,03% menuju 6.368,27. Ini merupakan koreksi paling tajam di antara indeks bursa saham regional.
Padahal indeks Straits Times (Singapura) cuma turun 1,18% dan Hang Seng (Hong Kong) terkoreksi 1,03%. Adapun indeks Nikkei, Shanghai dan Kospi turun masing-masing 0,77%, 0,55% dan 0,40%.
Arus keluar modal asing (capital outflow) dari Bursa Efek Indonesia (BEI) juga masih deras. Pemodal asing mencatatkan penjualan bersih (net sell) senilai Rp 1,17 triliun di BEI. Sejak awal tahun hingga kemarin, net sell asing tercatat hampir Rp 13 triliun.
Merosotnya pasar saham lokal ini terpapar sentimen global dan lokal. Dari Amerika Serikat, ulah Presiden Donald Trump kembali bikin deg-degan. Maklum, dia menyulut perang dagang dengan menerapkan tarif impor baja sebesar 25% dan aluminium 10%.
Kebijakan ini menuai protes keras Tiongkok dan Eropa. Bahkan penasihat ekonomi Gedung Putih, Gary Cohn mundur dari jabatannya karena tak sejalan dengan Trump. Kontroversi ulah Trump itu menambah kekalutan pasar finansial global yang belum tuntas menghitung dampak kenaikan bunga acuan The Fed sebanyak empat kali.
Selain sentimen dari luar, tekanan pada bursa saham Indonesia juga bertambah akibat faktor domestik. Direktur Utama BEI Tito Sulistio, misalnya, melihat volatilitas rupiah turut mempengaruhi pasar saham. Kini, "Mereka mencari equilibrium baru rupiah" kata dia, Rabu (7/3).
Faktor penekan lain, investor kecewa dengan kinerja keuangan sejumlah emiten besar di BEI, terutama sektor konsumsi seperti Unilever Indonesia (UNVR) dan HM Sampoerna (HMSP). Sepanjang tahun 2017, pendapatan UNVR hanya tumbuh 2,9% atau level terendah dalam sejarahnya. Sementara pendapatan HMSP hanya tumbuh 3,8%.
Memang, secara umum, emiten di BEI masih mencatatkan kinerja keuangan positif. Dari 70 laporan keuangan emiten yang masuk, rata-rata laba 2017 tumbuh 25% dibanding laba tahun 2016. Tapi, penurunan emiten lokomotif konsumsi itu menegaskan lemahnya konsumsi di Indonesia.
Masih ada lagi sentimen lokal yang dicermati pasar, utamanya regulasi pemerintah. Misalnya, pembatasan harga jual batubara lokal dinilai memangkas prospek emiten batubara. "Emiten juga ragu dan cemas," ujar Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas Indonesia.
Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Taye Shim menyoroti rencana pemerintah mempertahankan harga BBM dan listrik hingga 2019. Kebijakan ini bisa mengubah penilaian lembaga rating. "Ini juga sentimen negatif," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News