Reporter: Dyah Ayu Kusumaningtyas | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kabar tidak menyenangkan menerpa industri pengelolaan kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia. Amerika Serikat (AS) menolak penggunaan minyak sawit asal Indonesia, dengan dalih produk minyak sawit mentah dan turunannya, tidak ramah lingkungan.
Namun, pengamat pasar modal Jimmy Dimas Wahyu menyebut, penolakan penggunaan CPO itu tidak akan menimbulkan kendala bagi emiten produsen CPO. Menurutnya, kalaupun kebijakan tersebut benar-benar diberlakukan oleh AS, tidak akan berpengaruh signifikan kepada kinerja saham ataupun fundamental emiten.
"Tingkat ekspor CPO ke luar negeri sangat kecil. Kalaupun ekspor, proporsi terbesar masih ke India yang mencapai 25,1% dari total ekspor CPO Indonesia, lalu ke China sebesar 7,9%," ujar Jimmy, Rabu (15/2).
Analis Reliance Securities, Andy Wibowo Gunawan menilai, adanya aksi embargo itu tidak akan berpengaruh signifikan terhadap ekspansi penjualan CPO emiten perkebunan. "Kebutuhan CPO masih dominan untuk kebutuhan domestik, bahkan kapasitas yang dihasilkan produsen dalam negeri belum memenuhi kebutuhan nasional," urainya, Jumat (17/2).
Andy bilang, sentimen negatif yang ditujukan AS terhadap CPO asal Indonesia, tidak akan memengaruhi permintaan dari importir, seperti China dan India. Pasalnya, jika China dan India berhenti mengekspor CPO dari Indonesia atau Malaysia, maka mereka harus merogoh biaya lebih mahal untuk mengekspor produk substitusi berupa minyak kedelai dari Amerika.
Meski begitu, Wawan Hendrayana, analis saham PT Infovesta Utama menyebut, isu penolakan CPO asal Indonesia itu memengaruhi pergerakan saham produsen CPO di tanah air. Menurutnya, pada saat isu tersebut kian mencuat belakangan ini, harga emiten CPO, seperti Astra Agro Lestari Tbk (AALI) sulit menguat. Bahkan, ada saham-saham yang sampai terkoreksi. "Pada periode 13 Februari - 16 Februari 2012, rata-rata saham emiten CPO terpangkas 5%," ujar Wawan, Jumat (17/2).
Masih fokus pasar domestik
Kelik Irwantono, Corporate Secretary PT BW Plantation Tbk (BWPT) menuturkan, pihaknya tidak yakin, AS benar-benar akan menerapkan larangan tersebut, karena Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sudah memberikan tanggapan dan menyangkal atas tuduhan tersebut.
Dia juga bilang, kalaupun benar-benar diterapkan, maka tidak akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Pasalnya, produksi BWPT seluruhnya masih untuk kebutuhan domestik yang permintaannya sangat besar. Pada tahun lalu, produksi BWPT mencapai 106.000 ton, atau naik 17% dari produksi tahun sebelumnya, dan semua diserap pasar dalam negeri.
"Untuk beberapa tahun kedepan belum ada rencana ekspansi penjualan ke luar negeri, karena masih fokus memenuhi permintaan domestik, dan untungnya cukup bagus," ujar Kelik, Jumat (17/2).
Sementara itu, Head Public Relations PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) Tofan Mahdi mengungkapkan, hingga akhir 2011, sebesar 95% penjualan produknya ke pasar domestik. Hanya, 5% yang diekspor, itu pun hanya ke Singapura. Dia mengklaim, tuduhan dan larangan dari AS itu tidak akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan ataupun untuk bisnis CPO secara keseluruhan. "Tapi kerugian yang akan ditanggung Indonesia lebih bersifat merusak image produksi nasional," urainya.
Terkait ekspansi penjualan ke luar Asia, menurut Tofan, pihaknya belum punya rencana ekspor ke Amerika ataupun Eropa. "Lokasinya jauh dan mengabiskan biaya distribusi yang lebih banyak, pasar dalam negeri dan Asia masih besar potensinya," tukasnya.
Pendapatan bisa tumbuh 15%-25%
Jimmy yakin, kinerja emiten produsen minyak sawit masih akan bertumbuh di tahun ini. Dia memprediksi, para produsen CPO masih bisa mencatat kenaikan pendapatan berkisar 15% - 25% di sepanjang 2012. Dus, harga sahamnya pun berpeluang reli di kisaran 15% hingga 25% juga.
Senada, Andy memperkirakan, emiten CPO masih mampu meraih kenaikan pendapatan 20% di tahun ini. Pasalnya, produsen CPO terlihat agresif melakukan ekspansi lahan, memproduksi produk turunan baru ataupun membangun pabrik pengolahan yang baru.
Misalnya, PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk (UNSP) yang berencana meningkatkan anggaran modal menjadi US$ 40 juta di tahun ini. UNSP berencana mengakuisisi lahan di Nigeria seluas 35 ribu hektare.
Selain itu, PT BW Plantation Tbk (BWPT) berencana membangun pabrik baru di Kalimantan Tengah, yang berkapasitas 60 ton per jam. Proyek ini akan dimulai di 2013, dan diharapkan rampung di 2014. "Kinerja BWPT dapat dikatakan jawara di tahun lalu," imbuh Wawan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News