kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Waspadai, euforia beternak emas!


Rabu, 19 September 2012 / 15:08 WIB
Waspadai, euforia beternak emas!
ILUSTRASI. Profil Kento Momota


Reporter: Arief Ardiansyah, Nina Dwiantika, Christine Novita Nababan, Dian Pitaloka Saraswati, | Editor: Imanuel Alexander

Pekan lalu, harga emas menorehkan rekor tertinggi tahun ini. Pamor emas sebagai ladang investasi pun kembali bersinar. Tapi, perlu waspada, karena kasus kerugian investasi emas di produk gadai emas bank syariah mulai bermunculan.

September ceria. Bisa jadi, ungkapan ini mewakili suasana hati yang tengah dirasakan para investor emas. Bulan ini, harga emas di dunia dan dalam negeri mencatatkan harga tertinggi sepanjang 2012.

Pekan lalu (14/9), harga emas di bursa NYMEX, Amerika Serikat, sempat bertengger di level US$ 1.775 per ons troi. Rekor harga emas sebelumnya diukir pada 26 Maret lalu sebesar US$ 1.694,9 per ons troi.

Harga emas di dalam negeri juga mengekor harga global. Ini tecermin dari publikasi harga emas batangan untuk kepingan 1 gram di Logam Mulia Aneka Tambang. Akhir pekan lalu (14/9), harga emas batangan mencapai Rp 587.200 per gram. Sebelumnya, harga emas tertinggi pada 29 Februari lalu di level Rp 574.000 per gram.

Pemicunya, sentimen positif atas rencana bank sentral AS mengalokasikan duit hingga US$ 85 miliar untuk membeli surat utang jangka panjang sampai akhir tahun. Belum lagi, kata analis Harvest International Futures, Ibrahim, euforia investor atas efek stimulus ekonomi di kawasan Eropa. “Pada akhir 2012, harga emas bisa mencapai US$ 1.850 per ons troi,” katanya.

Bak mengulang kisah euforia harga emas pada paruh pertama tahun lalu, para investor tentu akan kembali memburu logam mulia ini sebagai salah satu wahana membiakkan duitnya. Tapi, prospek harga emas kali ini dibayangi terkuaknya kasus kerugian investasi emas berbasis gadai di perbankan syariah.

Sejatinya, produk gadai itu menjadikan emas sebagai jaminan mendapatkan pinjaman sekaligus pembayar utang jika si pemilik gagal bayar. Dengan kreativitas aduhai, konsep gadai beralih fungsi jadi sarana investasi pengungkit untuk spekulasi meraih cuan maksimal.

“Penyimpangan” konsep ini berbuah masalah. Melalui akunnya di media sosial Twitter, Rabu lalu (12/9), seniman Butet Kartaredjasa tiba-tiba mengajak orang-orang yang menjadi korban penjualan emas sepihak oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah, bergabung melakukan gugatan class action.

Rupanya, seniman asal Yogyakarta ini kesandung investasi emas. Ceritanya, dia mendapat tawaran investasi emas memanfaatkan produk gadai emas di anak usaha BRI. Butet cukup menyetorkan modal 10% untuk membeli sejumlah emas dan langsung dalam posisi tergadai di BRI Syariah. Tenaga pemasar di bank itu menyakinkan gadai berjangka waktu empat bulan tersebut bisa terus diperpanjang sambil memperbesar porsi kepemilikan secara mencicil.

Aturan main

Singkat cerita, pada Agustus 2011, Butet membeli emas 4,83 kilogram dan 600 gram dengan skema ini di BRI Syariah. Harga saat itu Rp 500.000–Rp 505.000 per gram. Artinya, si seniman membeli emas minimal seharga Rp 2,7 miliar dan menyetor fulus Rp 270 juta. Pada Desember 2011, Butet menyiapkan dana di rekening untuk memperpanjang gadai emasnya. Tapi, bank tidak mendebit uangnya dan justru menginformasikan kontrak gadai tidak bisa dilanjutkan. Bank beralasan Bank Indonesia (BI) sedang mengatur ulang bisnis gadai emas bank syariah.

Lantas, dia disuruh menebus gadai atau menjual emasnya pada harga pasar saat itu (force sell). Butet menolak semua opsi itu karena merugikan posisinya sebagai nasabah. Sejak itu dia bernegosiasi dengan BRI Syariah namun tak menemukan kata sepakat. Pada 18 Agustus, BRI Syariah menjual emas pada harga saat itu Rp 489.000 per gram. “Aset hilang, setoran modal hilang, dan masih ngutang,” kata Butet. Utangnya ke bank kini tercatat Rp 40,9 juta.

Butet tak sendirian melakukan upaya class action. Ada delapan investor bernasib sama di Semarang. Dua di antaranya adalah Sally Kusuma dan Indah Sulistiowati. Mereka berinvestasi di gadai emas dalam periode sama dengan Butet. Investasi mereka masing-masing Rp 52 juta dan Rp 550 juta nyaris ludes, dan cuma tersisa 9,5% saat emasnya dijual paksa.

KONTAN mendapati kasus serupa di kota Makasar, Sulawesi Selatan. Seorang investor yang meminta identitasnya dirahasiakan menyebut ada puluhan orang yang merugi akibat investasi ini di Makasar. “Skema ini terus terang seperti gambling tapi dilakukan dengan sadar. Jadi banyak orang yang merasa bersalah,” kata orang itu.

Jika dirunut ke belakang, penghentian kontrak gadai pada akhir 2011 ini masuk akal. BI berupaya membenahi bisnis gadai emas bank syariah yang berbau spekulasi. Ini terlihat dari penyaluran pembiayaan berakad qardh yang sangat besar. Bahkan, BI sempat membekukan sementara gadai emas di BRI Syariah, BNI Syariah, dan Bank Syariah Mandiri.

Corporate Secretary Group Head BRI Syariah Lukita T. Prakasa mengatakan, bentuk pengaturan BI tersebut di antaranya berupa pembatasan nilai plafon gadai maksimal Rp 250 juta per nasabah. Untuk nasabah lama dengan nilai pinjaman di atas plafon, BI mewajibkan bank menyelesaikan dalam kurun setahun.

Lukita merasa BRI Syariah telah melakukan negosiasi selama setahun. Selama masa itu, BRI Syariah membebaskan biaya titip dari Januari-Agustus. “Kami tidak bisa memenuhi tuntutan Pak Butet yang meminta perpanjangan masa gadai hingga tiga tahun,” katanya.

Butet tetap melawan. Gugatan class action nanti tak semata menuntut pengembalian investasi tapi juga mempertanyakan makna kesyariahan yang ada di BRI Syariah. Sepengetahuan Butet, konsep syariah itu baik ketika untung maupun rugi dinikmati bersama.

Dia sebenarnya tahu ada perubahan aturan dari regulator, tapi dia mempertanyakan nasabah yang menjadi korban. “Secara legal, posisi saya mungkin kalah, salah, dan harus menyerah. Tapi, ini syariahnya di mana?” tukasnya.

Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah berjanji akan menyelidiki kasus nasabah yang mengklaim menderita kerugian dari produk pembiayaan emas. “Kalau ada yang melanggar aturan, tentu akan kami berikan sanksi,” tandas Halim.

Risiko pasar mungkin bisa dihitung, tapi risiko peraturan, siapa yang mampu menebak? Mungkin para pembuat aturan pun tidak.

***Sumber: KONTAN MINGGUAN 50 XVI 2012 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×