Reporter: Dede Suprayitno | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Kenaikan harga batubara membuat kinerja emiten berbasis komoditas tersebut berdetak lebih cepat. Seakan memanfaatkan momentum kenaikan, emiten batubara optimistis bila sentimen itu bisa mengerek pendapatan mereka. Meski demikian, perlu dicermati hal lain yang menjadi sisi lain kenaikan harga tersebut.
Wilson Sofan, Kepala Riset Erdhika Elit Sekuritas menduga kenaikan harga batubara saat ini akibat ulah spekulan. Salah satu indikatornya adalah Amerika Serikat sudah tidak lagi memakai batubara. Bahkan AS akan menutup 500 PLTU dalam dua tahun ke depan. "Artinya permintaan batubara akan berkurang," terang Wilson kepada KONTAN, Minggu (30/7).
Hal yang sama juga terjadi di Eropa saat ini di mana mereka sudah tidak lagi menggunakan batubara. Oleh karena itu, dia menilai tidak ada sentimen yang benar-benar kuat yang bisa mengungkit kenaikan harga batubara. "Spekulan akan jadi resiko buat saya, karena sekarang misalnya harga batubara lebih mahal dari solar, maka saya akan pakai solar karena lebih murah dan efisien. Sementara batubara tidak efisien," imbuhnya.
Oleh karena itu, dia menilai, kenaikan harga batubara saat ini hanya bersifat sementara dan pelaku pasar bisa memanfaatkan sentimen ini untuk jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, Wilson tidak merekomendasikan emiten berbasis batubara ini, sama seperti halnya harga minyak. "Saya gak melihat ini akan sustain, buat saya batubara sudah sunset," terang dia.
Lalu kapan efek kenaikan batubara ini akan mencapai puncak? Menurutnya, pelaku pasar bisa belajar dari pergerakan harga minyak yang sempat menembus US$ 120 per barrel. Setelah itu, pergerakannya mulai diam dan lantas bergerak turun. Artinya, itu sudah saatnya pelaku pasar melakukan strategi exit. "Hanya saja, untuk price in harga batubara, emiten akan butuh waktu untuk mempelajari itu," kata dia.
Menurutnya, emiten batubara akan mengalami price in sampai dengan akhir tahun ini. Tren kenaikan batubara ini biasanya mengikuti tren harga minyak. Harga batubara akan lebih murah 40% dibandingkan dengan harga minyak. Sementara bila minyak pernah menyentuh harga tertinggi pada level US$ 120 per barrel, artinya batas tertingginya saat ini untuk harga batubara atau sekitar US$ 72 sudah terlewati. "Saat ini sudah relatif di puncak," lanjut dia.
Kondisi tersebut menurutnya akan memberikan pengaruh bagi kinerja emiten berbasis batubara. Namun, bagi emiten yang memiliki pangsa pasar lokal, dinilai akan memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan mereka yang memiliki pasar global. "Setelah setahun ini, kinerjanya bisa flat karena berebut order dalam negeri," katanya.
Namun, yang sudah memiliki basis lokal cukup kuat, akan bertahan. Selain itu, bisnis alternatif seperti pembangkit listrik juga akan memiliki pengaruh. Pasalnya, batubara tersebut bisa digunakan sendiri untuk memproduksi listrik. Namun, bila harga batubara semakin tinggi, orang cenderung bisa beralih dengan menggunakan solar. "Kalau harga batu bara tinggi, apa akan lebih efisien?" tanyanya.
Dia merekomendasikan emiten seperti ITMG, PTBA, dan ADRO bisa dimasuki dalam jangka pendek. "Market cap mereka juga bagus," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News