kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Wall Street terjun akibat perang mata uang dan eskalasi perang dagang


Selasa, 06 Agustus 2019 / 06:09 WIB
Wall Street terjun akibat perang mata uang dan eskalasi perang dagang


Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bursa saham global rontok di awal pekan kemarin. Merosotnya Wall Street melengkapi merosotnya bursa Asia yang lebih dahulu mengakhiri perdagangan.

Senin (5/8), Dow Jones Industrial Average anjlok 2,90% ke 25.717,74. Indeks S&P 500 pun merosot 2,98% ke 2.844,74. Sedangkan Nasdaq Composite terjun hingga 3,47% ke 7.726,04.

Penurunan indeks S&P 500 ini merupakan penurunan harian terbesar sejak 4 Desember tahun lalu. Indeks acuan ini pun turun dalam enam hari perdagangan berturut-turut dan sekarang 6% di bawah rekor tertinggi yang tercapai 26 Juli lalu.

Currency war alias perang mata uang makin panas setelah Amerika Serikat (AS) secara resmi menuduh China melemahkan mata uang di tengah perang dagang antara kedua negara. Nilai tukar yuan melorot stelah Presiden AS Donald Trump berjanji akan mengenakan tarif tambahan atas seluruh impor dari China.

Nilai tukar yuan mencapai level terlemah terhadap dolar AS dalam 11 tahun terakhir. People's Bank of China dengan izin pemerintah menetapkan kurs tengah harian di level terendah dalam delapan bulan terakhir.

Trump menyebut langkah ini sebagai pelanggaran besar dan manipulasi mata uang. Sejumlah investor memandang langkah pelemahan yuan sebagai respons langsung atas pengumuman tarif 10% atas sisa US$ 300 miliar impor dari China yang belum kena tarif sebelumnya.

"Ini adalah eskalasi perang dagang. Penguatan dolar menghadirkan masalah lain. Bagi perusahaan-perusahaan yang berbisnis di luar AS, hal ini akan menjadi masalah," kata Steven DeSanctis, equity strategist Jefferies kepada Reuters.

Yuan yang melemah dan dolar yang menguat akan menimbulkan tantangan bagi perusahaan-perusahaan AS yang memiliki bisnis besar di China. Pelemahan ini akan menyebabkan kenaikan beban pokok bagi pelanggan di China sehingga barang dari AS akan lebih mahal.

Kementerian Perdagangan China mengatakan, perusahaan-perusahaan China telah berhenti membeli produk pertanian AS dan China tidak akan mengecualikan tarif impor pada produk AS yang dibeli setelah 3 Agustus.

"Pasar saham sedang dalam fase koreksi dan tampaknya hal ini akan berlangsung beberapa lama," kata Keith Lerner, chief market strategist SunTrust Advisory.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×