Reporter: Marantina | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Mata uang negara kawasan Asia berguguran melawan keperkasaan dollar AS. Lambatnya kiprah Uni Eropa (UE) untuk mencari jalan keluar dari jeratan krisis utang, menjadi alasan pemodal mengurangi investasinya di emerging markets, termasuk di aset valuta.
Ringgit Malaysia dan ruppee India, Senin (27/8), memimpin penurunan nilai tukar valuta Asia terhadap dollar AS. Ringgit Malaysia melemah 0,35% menjadi 3,1100 ketimbang sehari sebelumnya. Diikuti Rupee yang turun 0,27% menjadi 55.6425 per dollar AS. Hanya Dollar Taiwan dan Hong Kong Dollar yang menguat dari seluruh mata uang di kawasan Asia.
Investor tampaknya masih pesimistis terhadap kondisi di Eropa. Wakil Kanselir Jerman, Philipp Roesler, menegaskan, tidak akan ada bantuan untuk Yunani jika reformasi tidak dilakukan. Sementara itu, Presiden Bundesbank Jens Weidmann, menyatakan, pembelian obligasi negara oleh European Central Bank (ECB) tidak akan membantu memecahkan krisis di wilayah itu. "Saya rasa tidak ada resolusi yang jelas untuk Yunani. Itu akan melanjutkan sentimen negatif bagi pasar," ujar Thomas Harr, Head of Asia Local Market Strategy Standard Chartered Plc. kepada Bloomberg.
Mata uang China, yuan, juga merosot 0,03% dibanding sehari sebelumnya terhadap dollar AS menjadi 6,3569. Penurunan itu merupakan dampak dari tindakan bank sentral menurunkan bunga referensi sebesar 0,14% pada awal Agustus lalu. “Penurunan bunga merupakan sinyal bahwa prospek ekspor China masih lemah. Situasi ekonomi China akan memberatkan yuan sepanjang tahun ini,” ujar Benny Lam, Kepala Ekonom CCB International Securities di Hongkong.
Nurul Nurbaeti, analis Treasury Research Bank BNI, menuturkan, ketika euro melemah tajam, maka dollar AS akan naik. Ini terkonfirmasi dari mata uang Asia yang juga ikut terseret pelemahan euro. “Pasar masih menunggu data ekonomi China. Negara itu tengah berusaha menggenjot ekspor,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News