Reporter: Hikma Dirgantara | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - AKARTA. Obligasi negara berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) atau INDON masih jadi pilihan instrumen investasi yang menarik di tengah kondisi saat ini. Investor ritel pun bisa menjadikan instrumen yang satu ini sebagai salah satu aset portofolio mereka.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, kinerja INDON ritel pada tahun ini cukup stabil. Tren penurunan suku bunga acuan menjadi katalis positif untuk kinerja INDON belakangan ini.
“Tren suku bunga turun ini membuat harga INDON cenderung naik signifikan setelah harganya sempat jatuh pada media Maret-April imbas aksi jual besar-besar investor asing di pasar obligasi. Menurut saya, memiliki obligasi, termasuk INDON saat ini akan menawarkan keuntungan optimal dari sisi risiko maupun pendapatan,” kata Wawan kepada Kontan.co.id, Selasa (27/10).
Tak hanya memiliki kinerja apik sepanjang tahun ini, Wawan optimistis tren positif INDON masih akan berlanjut pada tahun depan. Ia pun menilai, investor bisa mempertimbangkan untuk memiliki INDON pada portofolionya. Dari segi rata-rata yield, INDON ritel bisa menawarkan 3%-4%, jauh lebih tinggi dibanding deposito dolar AS yang hanya 0,75%. Selain itu juga aman karena penerbitnya adalah pemerintah.
Baca Juga: Penawaran masuk pada lelang sukuk negara turun menjadi Rp 20,90 triliun
Wawan bilang, risiko untuk INDON ritel ke depan adalah ketika suku bunga naik. Namun, dia cukup yakin peluang tersebut sangat minim. Tahun ini hanya menyisakan dua bulan dan justru masih ada peluang untuk turun bukannya naik. Sementara pada tahun depan, ia juga menilai suku bunga masih akan dalam tren rendah. Sehingga risiko penurunan harga INDON ritel sangat terbatas.
“Jadi secara fundamental untuk INDON ini masih sangat oke, mungkin sentimen lain yang membayangi adalah kenyataan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bergantung pada vaksin Covid-19. Jadi ketika ada keterlambatan dalam distribusi atau efektivitas vaksin tidak seperti perkiraan, ini bisa jadi sentimen negatif yang memukul kinerja INDON,” tambah Wawan.
Bagi investor ritel yang tertarik untuk membeli INDON ritel, obligasi ini bisa didapat melalui pembelian ke perbankan maupun sekuritas atau langsung lewat broker di pasar sekunder. Hanya saja, Wawan mengingatkan terdapat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pilihan.
Baca Juga: Ekonom sebut pembiayaan anggaran melalui penerbitan SBN di kuartal IV tidak cukup
Jika beli langsung, transaksi minimal INDON cukup mahal yakni US$ 100.000, namun harga jual maupun belinya akan sesuai dengan kondisi pasar. Di satu sisi, likuiditas bisa jadi hambatan, karena sebelum menjual kembali, investor harus terlebih dahulu menemukan pembeli yang bersedia.
Sementara jika lewat perbankan maupun sekuritas, transaksi minimal bisa lebih rendah karena bisa ditebus dengan minimal dana US$ 10.000. Namun, ketika hendak dijual kembali, Wawan bilang biasanya hanya bisa dijual kembali ke tempat investor membelinya. Selain itu, harganya akan di bawah pasaran. Namun, investor tidak akan kesulitan untuk menjualnya, karena perbankan atau sekuritas pasti akan mau membeli kembali.
“INDON secara umum merupakan instrumen yang menarik karena sebagai obligasi, instrumen ini akan memberikan kupon yang berkisar 4-5%. Jadi, selama di-hold akan terima bunga secara reguler. Sehingga dalam periode 2-3 tahun, setidaknya ketika harga naik, dengan adanya kupon kemungkinan tidak akan merugi,” sambung Wawan.
Untuk pilihan INDON ritel, Wawan mengaku rekomendasinya berdasarkan kebutuhan investor. Jika memang ingin optimalkan imbal hasil, maka tenor menengah-panjang bisa jadi pilihan karena harga akan naik. Tapi jika ingin kestabilan, maka INDON jangka pendek bisa jadi pilihan walau konsekuensinya imbal hasilnya akan lebih rendah dari yang jangka panjang.
Baca Juga: Ini target-target kinerja Bursa Efek Indonesia (BEI) di tahun 2021
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News