Reporter: Muhammad Musa | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dana investor asing mencatatkan net sell atau jual bersih sebesar Rp 6,45 triliun selama sepekan terakhir. Melansir data RTI, net sell investor asing mencapai Rp 2,02 triliun di seluruh pasar per Senin (13/5).
Di saat yang sama, net buy alias beli bersih semakin tergerus menjadi Rp 1,50 triliun sepanjang tahun 2024 hingga sekarang.
Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia, Liza Camelia Suryanata melihat, adanya aliran dana keluar atau outflow terdeteksi sejak pekan-pekan sebelumnya. Penyebab utamanya adalah prospek pemotongan suku bunga Amerika Serikat (AS) yang kian buyar.
“Akibat data-data ekonomi AS yang masih terus kuat dan dikhawatirkan membuat tekanan inflasi masih akan ada,” kata Liza kepada Kontan.co.id, Senin (13/5).
The Fed merasa suku bunga higher for longer masih diperlukan. Di sisi lain, yield obligasi AS juga terus melaju tinggi. Sejalan dengan itu, Dollar Index (DXY) juga memberikan sentimen bagi para investor untuk meninggalkan investasi berisiko pada pasar saham emerging markets.
Baca Juga: Net Sell Asing Rp 2 Triliun Saat IHSG Naik, Ini Saham Paling Banyak Net Buy & Sell
“Itulah capital outflow yang tengah dialami oleh Indonesia, sehingga menyebabkan nilai tukar rupiah kita juga sempat terjerembap berkisar ke angka Rp 16.300-an,” ujar Liza.
Di samping itu, Liza memberikan perhatian kepada satu instrumen lain yang disinyalir menjadi pelarian para trader di saat stock market is going nowhere. Instrumen cryptocurrency terlihat mengalami pertumbuhan nilai transaksi.
Sejak Oktober 2023 diketahui nilai transaksi kripto di Indonesia semakin menjulang tinggi. Pada akhir tahun 2023 per Desember nilai transaksi mencapai Rp 27,25 triliun.
Sedangkan pada Maret 2024 nilai transaksi telah mencapai Rp 103,58 triliun. Hal ini menunjukkan kenaikan 726% year on year (yoy) dari Maret 2023 yang berada di angka Rp 12,54 triliun. Angka tersebut juga naik 201,5% secara month on month (MoM) dari Februari 2024 yang mencapai nilai transaksi Rp 33,69 triliun.
Baca Juga: Saham BBRI Stagnan, ASII dan SMGR Memerah di Penutupan Bursa Senin (13/5)
Senior Investment Information Mirae Aset Sekuritas Indonesia, Nafan Aji Gusta menilai, dana asing ini mengalir masuk kepada instrumen safe haven berupa emas. Hal ini terlihat dari tren apresiasi pergerakan global gold futures maupun XAU/USD atawa emas spot.
“Paling utama sih emas ya, kalau saya melihat,” kata Nafan kepada Kontan.co.id, Senin (13/5).
Dari global, terdapat tensi geopolitik terakhir yang terjadi di Timur Tengah. Adapun dari sisi dinamika The Feds, terdapat potensi higher rate for longer time yang memberikan dampak terhadap kinerja perekonomian suatu negara menjadi kurang optimal.
Adanya kekhawatiran mengenai kenaikan laju inflasi menjadi satu hal yang wajar. Nafan menilai, Jika The Fed sudah mulai meninggalkan hawkish bias dan sudah mulai dovish artinya dolar AS tengah terdepresiasi. Hal ini tentunya memberikan efek yang positif untuk harga emas.
Menurut Nafan, investor harus memperhatikan dari aspek kinerja fundamental, penerapan good governence, dan prospek perusahaan untuk ke depan. “Ketiga hal tersebut sangat penting dan esensial,” terangnya.
Baca Juga: IHSG Naik 0,15% ke 7.099 Senin (13/5), EXCL, SRTG, UNVR Top Gainers LQ45
Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas menjelaskan, penyebab net sell asing berawal dari kondisi ketidakpastian global terkait meningkatnya tensi ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran yang memicu kenaikan harga minyak dan komoditas lainnya. Kondisi tersebut dikhawatirkan akan menyebabkan inflasi kembali meningkat.
Kondisi inflasi yang tinggi menyebabkan kebijakan The Fed kembali ketat. Selain itu juga, kondisi saham sebelumnya khususnya saham-saham blue chip perbankan secara teknikal mengalami kenaikan tinggi dan net sell asing adalah bagian dari aksi profit taking.
Adapun pelemahan rupiah juga terbilang signifikan dan hampir menyentuh titik tertinggi sebelumnya. Dirinya mengindikasikan aliran modal terkhusus saham mengalir kepada market yang mencatatkan net buy seperti Jepang, Malaysia, dan Taiwan secara mingguan dan bulanan
Indonesia tengah menantikan sentimen positif berupa transisi pemerintahan baru berkenaan dengan susunan menteri dalam rangka peningkatan ekonomi ke depan. Selain itu, sinyal pelonggaran kebijakan moneter dari The Fed turut memicu kembalinya aliran dana asing ke pasar negara berkembang.
Baca Juga: IHSG Naik 0,02% ke 7.089 di Sesi I Senin (13/5), UNVR, AMMN, EXCL Top Gainers LQ45
Secara jangka panjang, Sukarno menilai, saham BBRI, BMRI, TLKM, JSMR, INKP, UNTR, MEDC memiliki valuasi yang sudah tergolong undervalued. “Terlebih sudah koreksi dalam juga,” kata Sukarno kepada Kontan, Senin (13/5).
Sukarno merekomendasikan untuk beli atau akumulasi beli pada saham BBRI, BMRI, TLKM, JSMR, dan INKP. Sedangkan MEDC dan UNTR masing-masing cenderung trading buy dan wait and see dalam jangka pendek.
Adapun target harga terhadap saham yang masuk ketegori beli atau akumulasi beli dapat ekspektasi kenaikan di atas 10% secara jangka panjang. Sedangkan, untuk trading 5%-10% perlu tetap memperhatikan faktor yang mempengaruhi langsung seperti fluktuasi harga minyak yang dapat mempengaruhi kinerja ke depannya.
Sedangkan Nafan merekomendasikan accumulative buy pada saham AMRT dengan target harga Rp 2.900, ANTM di level Rp 1.615, dan INKP di harga 10.000 per saham.
Selanjutnya, Nafan merekomendasikan untuk buy in weakness pada saham BBNI dan ACES dengan target harga masing-masing Rp 5.050 dan Rp 915.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News