Reporter: Sinar Putri S.Utami | Editor: Sandy Baskoro
JAKARTA. Harga minyak mentah di pasar internasional masih terpuruk. Pada Jumat (19/12) pekan lalu, harga minyak WTI pengiriman Februari 2015 di Bursa New York sebesar US$ 57,13 per barel. Bahkan sehari sebelumnya, harga komoditas energi ini sempat menyentuh US$ 54,36 per barel. Ini adalah level terendah sejak Mei 2009. Jika dihitung sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu atau year-to-date (ytd), harga minyak sudah merosot 37,36%.
Kondisi ini tentu menekanĀ kinerja perusahaan yang bergerak di bisnis minyak bumi dan gas alam. Emiten sektor pertambangan migas seperti PT Elnusa Tbk (ELSA), PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) turut merasakan efek pelemahan harga minyak.
Pasalnya, kinerja ketiga emiten ini sangat bergantung pada harga minyak mentah dunia. "ELSA terpukul karena jumlah kontraktor berkurang, sedangkan MEDC dan ENRG terpukul karena keduanya produsen minyak," jelas Managing Partner Investa Saran Mandiri, Kiswoyo Adi Joe kepada KONTAN, Jumat lalu. Dia memperkirakan, tren bearish harga minyak mentah global bakal bertahan dalam jangka menengah.
Analis MNC Securities, Reza Nugraha, memproyeksikan harga minyak mentah di pasar global pada tahun depan menyentuh US$ 45 hingga US$ 50 per barel. "Belum ada tanda-tanda atau sentimen yang bisa membuat harga minyak rebound," kata dia.
Kondisi perekonomian global yang semakin kompleks pada 2015 akan memicu tren bearish harga minyak. "Jika harga minyak semakin rendah, maka margin yang akan didapat perusahaan mengecil," tutur Reza.
Menurut dia, hingga akhir September 2014, ELSA memiliki margin laba bersih 9,3%, atau lebih besar ketimbang ENRG dan MEDC. Adapun ENRG mencetak margin laba bersih 6,3% dan MEDC 1,7%. Namun tahun depan, lantaran belum ada sinyal rebound pada harga minyak, Reza memperkirakan margin laba bersih ELSA tergerus 1%-2%.
Sementara, Analis Samuel Sekuritas Brent Chinn menjelaskan, industri minyak Indonesia, asalkan ada investasi asing, dapat bertahan ditengah koreksi harga minyak global. "Tanpa investasi asing ke proyek energi di Indonesia, industri ini tak dapat tumbuh secara substansial melampaui laju pertumbuhan ekonomi," tulis dia, dalam riset pada 19 November 2014.
Hasan, analis Ciptadana Securities memandang lebih optimistis terhadap sektor migas tahun depan. Melalui riset yang dirilis 9 Desember 2014, dia meyakini Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo berasal dari kalangan profesional yang berpengalaman di industri maritim dan industri energi di Indonesia. "Ini menjadi pertanda baik untuk pertumbuhan jangka panjang," kata dia. Namun, Hasan mengakui butuh waktu untuk mencapai hasil positif pada industri ini.
Dia memilih MEDC sebagai salah satu perusahaan yang dapat tumbuh pada tahun depan. Proyek gas Senoro mulai berproduksi pada tahun depan, sehingga turut mengerek kinerja perusahaan ini. Hasan memprediksi volume penjualan gas MEDC pada tahun depan tumbuh 48% year-on-year (yoy) menjadi 218 mmscfd.
Sedangkan Reza memilih ELSA. Alasannya, perusahaan ini cenderung memiliki rasio utang (debt to equity ratio) kecil, yakni 0,6 kali. Dus, masih ada ruang bagi ELSA untuk menggenjot pendanaan. Lantaran belum ada sinyal kebangkitan harga minyak, Reza merekomendasikan hold ELSA, ENRG dan MEDC.
Adapun Hasan merekomendasikan buy untuk MEDC. Sedangkan Brent merekomendasikan hold ELSA.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News