Reporter: Amailia Putri Hasniawati | Editor: Asnil Amri
JAKARta. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) menghidupkan lagi rencana pengembangan unit bisnis Telkom Flexi. Emiten telekomunikasi terbesar di Tanah Air ini berniat membentuk entitas baru, yang menaungi bisnis telekomunikasi berbasis CDMA itu.
Perseroan kembali mendekati sejumlah operator CDMA, termasuk PT Indosat Tbk, yang mengusung merek dagang Star One. Tapi, pendekatan itu baru sebatas pembicaraan informal. "Kami masih melihat performa perusahaan yang akan kami gandeng," ujar Honesti Basyir, Direktur Keuangan TLKM.
Manajemen TLKM masih mencari model bisnis yang tepat terkait rencana itu. Satu opsi yang ditawarkan adalah konsolidasi. Perseroan berniat menggabungkan unit bisnis Flexi dengan operator CDMA yang lain. "Jadi network-nya akan digabungkan," kata Honesti.
Dengan skema itu, ada kemungkinan pembentukan perusahaan baru yang menaungi hasil merger layanan CDMA kedua perusahaan. Adapun pemegang saham mayoritas, kata Honesti, akan jatuh ke pemilik aset dengan nilai terbesar. Nilai aset Telkom Flexi berkisar Rp 9 triliun hingga Rp 10 triliun.
Dalam konsolidasi bisnis sejatinya tidak memerlukan biaya. "Paling nanti perusahaan baru yang perlu dana untuk pengembangan," kata Honesti. Manajemen TLKM belum bisa memastikan target realisasi pengembangan unit Telkom Flexi. "Bisa saja tahun ini jika kami punya chemistry yang sama," tutur dia.
Sementara pengelola PT Indosat Tbk (ISAT) menyatakan memang berniat mengembangkan unit bisnis Star One. Namun, perseroan belum mau mengemukakan strateginya. "Belum dipastikan apakah akan konsolidasi atau bagaimana," kata Harry Sasongko, Presiden Direktur ISAT.
Opsi terbatas
Wacana merger antara Flexi dan Star One sudah lama berdengung. Pada 2009 silam, pengelola kedua emiten itu, sudah berbicara secara informal. Ketika itu, ISAT diberitakan akan memisahkan (spin-off) unit bisnis Star One yang kemudian akan dimerger dengan Telkom Flexi.
Tapi rencana itu bagai tak berujung. Setelah gagal menggandeng ISAT, TLKM kemudian merapat ke operator pengusung merek dagang Esia, yakni
PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL). Rencana ini juga kandas karena ditentang beberapa pihak internal TLKM. Merger dengan BTEL dianggap tak menguntungkan.
Kepala Riset Sinarmas Sekuritas, Jeff Tan, menilai saat ini opsi pengembangan bisnis telekomunikasi memang tidak banyak. "Tren konsolidasi akan terus berlangsung," kata dia.
Dengan merger, ada nilai tambah dari bisnis telekomunikasi berteknologi CDMA. Beban operasional pun akan lebih ringan karena ada cost-sharing. "Tetapi kontribusinya terhadap bottomline tidak akan terlalu besar, namun ini salah satu opsi yang bisa diambil," tutur Jeff.
Industri telekomunikasi dinilai masih menjanjikan. Di tengah krisis global, investor cenderung masuk ke sektor yang dianggap mature, salah satunya telekomunikasi. "Telekomunikasi dinilai aman karena tidak cyclical atau domestic-based industry," pungkas Jeff. Harga TLKM, Senin (4/6), ditutup tidak beranjak dari Rp 7.600 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News