kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tiga emiten sektor telko ini siap lunasi utang yang jatuh tempo Oktober 2019


Jumat, 11 Oktober 2019 / 19:21 WIB
Tiga emiten sektor telko ini siap lunasi utang yang jatuh tempo Oktober 2019
ILUSTRASI. Pada bulan Oktober 2019 ini, ada tiga emiten terkait telekomunikasi yang memiliki obligasi jatuh tempo. KONTAN/Fransiskus Simbolon/12/05/2019


Reporter: Nur Qolbi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada bulan Oktober 2019 ini, ada tiga emiten terkait telekomunikasi yang memiliki obligasi jatuh tempo, yaitu PT XL Axiata Tbk (EXCL), PT Tower Bersama Infrastructure Bersama Tbk (TBIG), dan PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE).

Jatuh tempo obligasi terdekat adalah TELE, yakni pada 14 Oktober 2019. Perusahaan ini memiliki kewajiban untuk membayar pokok utang Obligasi Berkelanjutan Tahap 1 Tahun 2016 Seri B senilai Rp 256 miliar. 

Kemudian, pada 26 Oktober 2019 nanti adalah giliran EXCL untuk melunasi Obligasi Berkelanjutan I Tahap I Tahun 2018 Seri A sebesar Rp 328 miliar dengan bunga tetap tahunan 8,25% serta Sukuk Seri A senilai Rp 358 miliar dengan cicilan imbalan ijarah per tahun sebesar Rp 29,53. 

Selanjutnya, tanggal 28 Oktober 2019 adalah waktunya TBIG untuk melunasi obligasi jatuh temponya. Obligasi Berkelanjutan III Tahap II Tahun 2018 ini memiliki nilai pokok Rp 628 miliar dengan tingkat suku bunga tetap 8,5% per tahun. 

Baca Juga: Pemegang obligasi Duniatex surati Jokowi

Group Head of Corporate Communications EXCL Tri Wahyuningsih mengatakan, pihaknya telah menyiapkan dana untuk melunasi pokok maupun bunga kedua utang tersebut. "Dana pembayaran atas kedua seri A obligasi dan sukuk ini berasal dari kas internal perusahaan," kata Tri saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (11/10).

Bernada serupa, Direktur Keuangan TBIG Helmy Yusman Santoso juga mengatakan, sudah menyiapkan dana untuk membayar kewajiban tersebut. "Sudah disiapkan. Semuanya dari dana internal," ucap Helmy. 

Dana internal dipilih karena menurut dia, EBITDA TBIG dalam setahun hampir mencapai Rp 4 triliun. Dengan begitu, TBIG akan melunasi obligasi dalam rupiah dengan dana internal karena jumlahnya yang tidak signifikan. "Kecuali pinjaman dalam dolar AS yang jumlahnya besar, misalnya bond yang jumlahnya mencapai US$ 350 juta, baru akan kami refinancing," kata dia. 

Dana internal ini juga akan digunakan untuk dua obligasi TBIG yang akan jatuh tempo pada tahun depan, yakni Obligasi Berkelanjutan II Tahap II senilai Rp 700 miliar yang jatuh tempo 21 April 2020 dan Obligasi Berkelanjutan II Tahap III senilai Rp 700 miliar yang jatuh tempo 19 September 2020.

Sementara itu, untuk membayar obligasi jatuh temponya, TELE telah mencatatkan Obligasi Berkelanjutan II Tiphone Tahap II Tahun 2019 dengan nilai pokok Rp 500 miliar pada September 2019 lalu. Obligasi ini merupakan bagian dari Obligasi Berkelanjutan II Tiphone dengan target dana yang akan dihimpun sebesar Rp 2 triliun. 

Baca Juga: S&P Turunkan Peringkat Alam Sutera (ASRI) Karena Ketidakpastian Penjualan ke CFLD premium

Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, kemampuan EXCL dan TBIG dalam mendapatkan uang segar untuk membayar utang memang lebih besar dibanding TELE. Alasannya, arus kas kedua perusahaan ini lebih baik dibanding TELE. 

Terlebih lagi, penjualan EXCL dan TBIG per Juni 2019 ini sama-sama meningkat. Penjualan TBIG meningkat 9,6% secara year on year (yoy) menjadi Rp 2,28 triliun dan penjualan EXCL tumbuh 11% yoy menjadi Rp 12,26 triliun. Sebaliknya, TELE mencatatkan penurunan penjualan sebesar 11,11% yoy menjadi Rp 12,56 triliun. 

"Tren perlambatan ekonomi membuat penjualan TELE juga melambat. Saingannya juga tambah banyak. Sementara EXCL dan emiten operator telekomunikasi lainnya sudah tidak bersaing secara harga karena sudah memiliki kapasitas yang penuh. Jadi, hal ini memberi dampak baik ke kinerja EXCL dan TBIG," ucap dia. 

Menurut dia, EXCL dan TBIG juga diuntungkan dengan pelemahan nilai tukar dolar AS karena kedua perusahaan ini memiliki banyak utang dalam bentuk dolar AS. "Tahun lalu mereka jelek karena nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sampai Rp 15.000 tapi tahun ini jatuh cukup lumayan ke Rp 14.000. Jadi, mereka sangat diuntungkan," kata Wawan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×