Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah global saat ini memang telah mencerminkan kondisi geopolitik yang memanas di Timur Tengah. Namun, pasar dinilai belum sepenuhnya mengantisipasi potensi risiko lanjutan, seperti reaksi balasan dari Iran serta ketegangan di Selat Hormuz yang menjadi jalur vital perdagangan energi dunia.
Kepala Ekonom BCA, David Sumual mengatakan bahwa situasi saat ini belum mencerminkan semua potensi eskalasi konflik. Sebab belum tahu bagaimana reaksi Iran setelah serangan terakhir dari Amerika Serikat (AS) dan jika ketegangan berlanjut, apalagi sampai penutupan Selat Hormuz benar-benar terjadi, maka premi risiko minyak bisa naik signifikan.
"Banyak yang memperkirakan harga minyak bisa melonjak ke atas US$ 100 per barel," ujar David kepada Kontan.co.id, Senin (23/6).
Nah, sebagai negara net oil importer, Indonesia sangat rentan terhadap kenaikan harga minyak. Namun, David menjelaskan bahwa efeknya ke dalam negeri tidak langsung terasa di harga BBM karena adanya mekanisme kompensasi.
Baca Juga: IHSG Masih dalam Tekanan, Begini Proyeksi untuk Selasa (24/6)
Asumsi APBN Indonesia tahun ini dikisaran US$ 82 per barel, sehingga apabila harga minyak tembus jauh di atas itu, maka kompensasi untuk Pertamina bisa meningkat tajam. "Ini akan menekan ruang fiskal kita," jelas David.
Berdasarkan Trading Economics, harga minyak WTI naik 0,58% dalam 24 jam terakhir ke US$ 74,43 per barel, melanjutkan penguatan 6% sepekan dan 22,29% sebulan terakhir. Minyak Brent juga naik 0,31% ke US$ 77,51 per barel, melanjutkan penguatan 5,94% sepekan dan 20,23% sebulan terakhir.
Dampak lainnya terasa pada nilai tukar rupiah, yang dalam beberapa pekan terakhir terus tertekan. Data dari Bank Indonesia menunjukkan rupiah diperdagangkan di level Rp 16.484 per dolar AS, melemah sekitar 1,15% dibanding pekan sebelumnya dan rupiah spot turun 1,39% ke Rp 16.492 per dolar AS dalam sepekan.
Hanya saja, David menilai tekanan pada rupiah lebih disebabkan oleh peningkatan aktivitas impor dan berkurangnya sentimen positif dari investor asing.
Namun, jika harga minyak bertahan di bawah US$ 82 per barel, tekanan rupiah masih bisa terjaga di kisaran Rp 16.300 – Rp 16.600. Sementara jika menembus US$ 90 per barel, rupiah bisa tertekan sampai ke kisaran Rp 17.000 per dolar AS.
Dengan kondisi saat ini, David menyarankan investor untuk mempertimbangkan aset pendapatan tetap seperti Surat Berharga Negara (SBN) karena imbal hasilnya masih atraktif. Ini juga melihat asing yang bertahan di SBN dengan mencatatkan arus masuk Rp 3,47 triliun periode 16-19 Juni, di tengah arus keluar di pasar saham dan SRBI.
BI juga mencatat, sepanjang tahun berjalan (hingga 19 Juni 2025), asing juga masih mencatatkan beli bersih di pasar SBN sebesar Rp 44,93 triliun. Sementara, asing justru mencatatkan jual bersih Rp 47,15 triliun di pasar saham dan Rp 28,69 triliun di pasar SRBI.
Berdasarkan Trading Economics, yield SUN acuan 10 tahun juga cenderung bergerak stabil di tengah ketidakpastian dengan koreksi tipis 0,02% dalam sepekan di 6,78% per Senin (23/6).
David berpandangan tekanan terhadap pasar obligasi relatif terbatas seiring kepemilikan asing di pasar SBN saat ini tidak lagi sebesar dulu, sehingga efek dari capital outflow tidak sekuat sebelumnya. Adapun kepemilikan asing di SBN kini hanya sekitar 14%, turun jauh dari posisi 40% di masa lalu.
"Sebagian besar investor asing juga adalah institusi jangka panjang, sehingga tidak mudah keluar," jelasnya.
Selain aset fixed income, sektor saham defensif seperti barang konsumsi bisa menjadi pilihan. "Jika mau lebih konservatif, cash atau instrumen safe haven seperti dolar AS, Yen, Franc Swiss, atau emas juga bisa jadi opsi," tutupnya.
Baca Juga: Israel Serang 6 Bandara Militer Iran, Hancurkan 15 Pesawat Tempur!
Selanjutnya: IHSG Masih dalam Tekanan, Begini Proyeksi untuk Selasa (24/6)
Menarik Dibaca: Vasanta Group Perkuat Komitmen Hunian Berkelanjutan Lewat Shila Fun Run 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News