Reporter: Grace Olivia | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang agresif di paruh pertama tahun ini bagai buah simalakama bagi emiten perbankan. Mengingat, jika kenaikan bunga deposito tak beriringan dengan kenaikan bunga kredit, margin bersih bank atau net interest margin (NIM) akan tertekan.
Bank-bank berkapitalisasi jumbo pun tak luput dari risiko ini. Pada musim laporan keuangan semester-I 2018, sejumlah bank besar mengalami penurunan NIM. Di antaranya Bank Mandiri (BMRI). NIM bank ini turun dari 5,88% menjadi 5,7%. NIM Bank Central Asia (BBCA) juga turun dari 6,3% menjadi 6%
Untungnya, bank-bank besar tersebut masih mampu membukukan pertumbuhan laba. Kenaikan laba bersih terbesar dicetak BMRI, yang tumbuh sekitar 28,69% menjadi Rp 12,18 triliun.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Taye Shim menilai perbankan bakal berupaya memperkecil biaya dana (cost of fund) dengan meningkatkan rasio simpanan dana murah atawa current account and saving account (CASA). Namun, di sisi lain, pemberian imbal hasil untuk simpanan masih akan menekan margin, sehingga bergerak datar di paruh kedua tahun ini.
Taye menyebut pendapatan perbankan dari penyaluran pinjaman mengalami penurunan sejak awal tahun ini, lantaran persaingan yang ketat di tengah permintaan kredit yang melambat. "NIM akan stabil, namun bergerak datar sepanjang tiga bulan ke depan," papar Taye dalam risetnya, 26 Juli lalu.
Kredit korporasi
Analis BCA Sekuritas Gilang Purnama juga tak menampik risiko pada sektor perbankan terkait NIM masih terjadi. Namun, ia optimistis pertumbuhan kredit masih di kisaran 9%-10% sepanjang tahun ini dan tahun depan.
"Meski kenaikan suku bunga berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi, kami yakin permintaan kredit masih akan tumbuh lebih tinggi, terutama dari sektor swasta maupun BUMN," terang Gilang, dalam riset 23 Juli.
Memang, pada Mei lalu, penyaluran kredit justru tumbuh lebih kencang, yaitu sekitar 10,3%. Taye melihat laju pertumbuhan ini lebih tinggi daripada ekspektasinya, maupun tren secara historis.
Lonjakan permintaan kredit ini didorong oleh pinjaman korporasi yang naik 2,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Pinjaman korporasi naik seiring dengan berkurangnya ketertarikan investor pada pasar obligasi, di tengah kenaikan suku bunga acuan dan pertumbuhan ekonomi domestik yang berjalan sesuai dengan ekspektasi.
Namun, Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital, secara terus terang menyebut kondisi pasar saat ini masih hanya akan berpihak pada saham-saham bank first liner, yakni BMRI, BBCA, BBRI, dan BBNI. "Selama IHSG masih bergerak di bawah 6.000, lebih baik prioritaskan saham bank-bank tersebut," kata dia.
Alfred pun masih menjagokan BMRI sebagai top stock di sektor perbankan. Selain karena valuasinya yang terbilang masih murah, BMRI juga mengalami lompatan pertumbuhan laba bersih di kuartal-II 2018 yang jauh lebih baik ketimbang emiten sejenis.
Selain itu, BMRI juga mencatatkan perbaikan kualitas kredit. "NPL turun, sehingga pencadangan juga ikut turun dan karena itu laba bersih terdongkrak," ujar Alfred.
Untuk itu, Alfred memberi rekomendasi beli BMRI dengan target harga Rp 8.520 per saham. Proyeksi price to book value (PBV) BMRI sebesar 2 kali. Alfred yakin BMRI akan terus memangkas NPL hingga berada di bawah 3% pada akhir tahun nanti. Hal ini bakal berdampak ke kenaikan harga sahamnya.
Sementara, Taye memilih BBCA dan BBNI sebagai saham perbankan unggulan, dengan rekomendasi beli untuk kedua saham tersebut. Sedangkan Gilang lebih memilih BMRI dan BBRI sebagai saham pilihan utama. "Kedua emiten ini mampu mempertahankan pertumbuhan pendapatannya," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News