Reporter: Febrina Ratna Iskana, Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Rupiah mencatat prestasi buruk sepanjang tahun 2013. Mata uang Garuda ini mengukir penurunan terbesar terhadap dollar Amerika Serikat (AS) dibanding mata uang negara Asia lain.
Sepanjang tahun lalu, rupiah mencatat penurunan 25,75%. Jauh lebih buruk ketimbang yen Jepang yang sengaja dilemahkan oleh Bank of Japan. Yen melemah 21%.
Pengamat pasar uang, Farial Anwar mengatakan, pergerakan rupiah akan sulit tahun ini. Apalagi pemerintah dan Bank Indonesia tidak terlihat berupaya serius untuk meredam kejatuhan rupiah. Pelemahan rupiah tidak hanya terkait faktor internal, tetapi juga eksternal, terutama dari potensi peningkatan nilai pemangkasan stimulus AS.
Apalagi tahun ini Indonesia memasuki tahun politik berupa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Tekanan terhadap rupiah juga akan makin besar, terutama karena investor sedang menanti pemimpin baru yang terpilih nanti.
Secara fundamental, tidak ada sentimen negatif seperti yang terjadi tahun lalu seperti kenaikan harga bahan bakar minyak, kenaikan suku bunga acuan, serta isu penghentian stimulus AS. Dia memprediksikan, rupiah maksimal di angka Rp 12.500. "Kalau lebih dari itu, berarti pemerintah dan BI gagal menjaga rupiah," ujar Farial, kemarin.
Meski tekanan berkurang ketimbang tahun ini, potensi penguatan rupiah pun terbatas. Farial menambahkan, perlu alasan penguatan rupiah. Sementara pasokan dollar AS terbatas. Apalagi investor asing juga masih menunggu hasil pemilu.
Lana Soelistyaningsih, pengamat ekonomi Universitas Indonesia, mengatakan, pemilu menjadi alasan bagi investor untuk menunda investasi di Indonesia. Secara teoritis dan melihat beberapa pendekatan, nilai rupiah saat ini seharusnya berada di 10.500-11.000 per dollar AS. Di posisi kurs tengah BI sebesar Rp 12.189, rupiah sudah undervalue atau sangat murah. "Seharusnya rupiah bisa menjadi aset karena sudah murah dan banyak dollar AS yang masuk, tapi malah terus turun," ujar Lana.
Tekanan rupiah masih akan kuat pada kuartal pertama ini karena dua alasan. Pertama, pasar menunggu data neraca transaksi berjalan 2013 pada Februari. "Kalau defisit transaksi berjalan kurang dari 3,5% produk domestik bruto, akan sedikit membantu rupiah," imbuh dia.
Kedua, pengumuman gubernur Bank Sentral AS dan keputusan pertama kebijakannya pada Maret akan menjadi perhatian pasar.
Pemilu pun mampu menekan rupiah karena masih belum jelasnya calon presiden yang akan memimpin Indonesia. "Sehingga investor masih wait and see sampai ada calon presiden yang jelas," kata Lana.
Lana pun memprediksikan rontoknya rupiah tahun lalu kemungkinan tidak terulang lagi. Kalau hasil pemilu tidak sesuai harapan pasar, pelemahan rupiah pun terbatas. "Sepanjang tahun ini rupiah bisa antara Rp 11.500 hingga Rp 12.800," imbuh dia.
Albertus Christian, analis Monex Investindo Futures mengatakan, ketidakpastian akan calon presiden membuat para investor berlindung di dollar AS sehingga rupiah masih akan tertekan. Kecuali ada perbaikan defisit neraca berjalan dan inflasi menurun, maka nilai tukar bisa stabil. "Defisit neraca berjalan dan inflasi yang menurun bisa mengimbangi tekanan terhadap rupiah," ujar Albertus.
Sedangkan David Sumual, ekonom Bank Central Asia (BCA) mengatakan, pemilu tahun depan bisa memberikan harapan untuk membaiknya ekonomi Indonesia di tengah perkiraan defisit neraca berjalan yang meningkat. Akan tetapi, akan ada harapan pada kuartal III dengan terbentuknya pemerintahan baru hasil pemilu. Pengaruh-pengaruh pemerintahan baru nanti diharapkan akan lebih baik, agar investasi di Indonesia bisa berjalan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News