Reporter: Kornelis Pandu Wicaksono | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Pemerintah menaikkan lagi tarif dasar listrik di bulan Oktober ini rata-rata sebesar 3%. Kenaikan tarif listrik ini membuat rata-rata kenaikan dari awal tahun mencapai 15%. Bahkan beberapa golongan pelanggan harus menanggung kenaikan tarif listrik sebesar 30%.
Tak hanya itu, setidaknya hingga tahun depan tarif listrik akan kembali naik 15% sekaligus subsidi listrik bagi industri menengah (di atas 200 kVA) dan industri sangat besar (30.000 kVA ke atas) akan dicabut.
Analis Sucorinvest Central Gani, Gifar Indra Sakti menilai, kenaikan listrik akan menambah beban operasi para emiten. "Tapi saya belum menghitung dampaknya," ujar dia, Jumat (4/10).
Analis Senior HD Capital, Yuganur Wijanarko mengatakan, dampak kenaikan tarif listrik tidak dapat dihindari oleh semua emiten. Kenaikan tarif setrum, menurut dia, akan membuat emiten menaikkan harga jual.
Namun, Gifar menambahkan, ada risiko kinerja emiten akan menurun karena daya beli konsumen menurun. Jika perusahaan ingin mempertahankan pangsa pasar maka mau tidak mau menahan harga dengan konsekuensi laba bersih turun.
Yuganur bilang, emiten yang akan paling kena dampak negatif terbesar adalah emiten semen. "Karena emiten semen porsi beban listrik lebih dari 30% dari total beban operasional mereka," ujar dia.
Pada semester I-2013, beban listrik dan bahan bakar PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk (INTP) mencapai 39% dari total beban pokok pendapatan. PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) dan PT Holcim Indonesia Tbk (SMCB) tak membeberkan detail porsi beban listrik dalam laporan keuangan. Tapi, Sekretaris Perusahaan SMGR, Agung Wiharto mengungkapkan, biaya listrik berkontribusi sekitar 11% dari biaya produksi.
Secara keseluruhan, Yuganur menilai, saham sektor semen tidak ada yang layak beli setidaknya dalam tiga bulan mendatang. Ini karena, tren harga belum nampak naik.
Harga jual listrik
Sedangkan, bagi emiten yang memiliki pembangkit listrik, menurut Yuganur, juga terdampak kenaikan harga listrik yang sudah naik sejak awal tahun ini. "Untuk emiten yang memiliki pembangkit listrik, seperti emiten tambang, memang harga jual dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) naik, namun belum tentu harga jual dari emiten tersebut juga naik," ujar dia.
Ini karena, kontrak jual beli antara PLN dengan emiten tidak memberikan fleksibilitas untuk adanya penyesuaian harga. Beberapa emiten tambang tercatat memiliki pembangkit listrik sendiri untuk menekan biaya operasional. "Selain untuk operasional juga ada yang dijual ke PLN," ujar Gifar.
Gifar mencatat, PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Adaro Energy Tbk (ADRO) memiliki pembangkit listrik sendiri. Selain emiten tambang, emiten properti PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) juga mempunyai bisnis pembangkit listrik sendiri, melalui anak usahanya PT Bekasi Power Plant.
Manajemen KIJA menargetkan pembangkit listrik tersebut di tahun ini dapat memberikan pendapatan US$ 105 juta. Sepanjang semester I pembangkit listrik KIJA telah memberikan kontribusi sebesar Rp 505,78 miliar.
Meskipun memiliki pembangkit listrik sendiri, Gifar memperkirakan, kenaikan tarif listrik tidak ikut meningkatkan kinerja emiten tambang. "Ada penyesuaian, tetapi mungkin juga akan tetap," ujar dia.
Selain itu, Gifar juga menilai, kenaikan tarif listrik juga berdampak ke emiten sektor ritel dan konsumsi, tapi tidak terlalu besar. Emiten ritel dan konsumsi yang memiliki gerai di mal memang akan sensitif terhadap kenaikan beban listrik ataupun sewa mal. "Namun mereka bisa saja membebankan kenaikan biaya listrik tersebut kepada konsumen," ujar dia.
Bila tidak menaikkan harga, konsekuensinya margin akan menurun. Tapi, bila mengerek harga, risikonya, permintaan akan menurun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News