Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nilai tukar rupiah diperkirakan melemah pada Senin (3/2). Rupiah berpotensi tertekan seiring dimulainya kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS).
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong memproyeksi, rupiah kemungkinan melemah di awal pekan seiring kekhawatiran mulainya tarif impor Donald Trump. Selain itu, rilis inflasi PCE AS menunjukkan tingkat inflasi masih berada di atas target Fed yang diharapkan sebesar 2%.
“Dolar menguat berkat dukungan pernyataan hawkish the Fed dalam pertemuan FOMC dan ancaman tarif Trump kepada Meksiko dan Kanada,’’ jelas Lukman kepada Kontan.co.id, Jumat (31/1).
Seperti diketahui, Donald Trump telah resmi menandatangani perintah untuk menerapkan bea masuk sebesar 10% pada semua impor dari Tiongkok pada 1 Februari 2025. Perang dagang juga disampaikan untuk impor dari Meksiko dan Kanada dengan bea masuk sebesar 25%.
Baca Juga: Rupiah Sempat ke Rp 8.170 Per Dolar AS di Google pada Sabtu (1/2), Ini Kata Pengamat
Sementara itu, Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE) inti AS, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi, tercatat naik 0,2% dibandingkan November dan tumbuh 2,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Tingkat kenaikan inflasi ini sesuai dengan perkiraan pasar.
Inflasi AS masih membandel di atas 2% merupakan sinyal bahwa suku bunga belum akan dipangkas. Sebelumnya, Ketua Fed Jerome Powell, masih membutuhkan bukti lebih lanjut dari inflasi untuk memangkas suku bunga.
Lukman menambahkan, berita rupiah menguat menjadi Rp 8.000 per dolar AS pun hanya sebatas kesalahan data yang tidak sama sekali berdampak bagi prospek rupiah. Seperti halnya mata uang lain, prospek rupiah terhadap dolar masih akan tertekan.
Di pekan depan, investor juga akan menghadapi serentetan data-data ekonomi penting baik dari dalam maupun luar negeri. Data-data dari AS adalah ISM manufaktur dan service, PMI China manufaktur dan service. Dari internal, data inflasi Indonesia, data pertumbuhan PDB dan cadangan devisa bakal dirilis pekan depan.
Baca Juga: Sempat ke Rp 8.170 Per Dolar versi Google, Begini Proyeksi Rupiah dalam Jangka Pendek
Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mengatakan, kebijakan fiskal Donald Trump dengan penerapan tarif bea impor terhadap beberapa negara tertentu, bisa mempengaruhi pergerakan dolar terhadap rivalitas utama dan juga mata uang emerging market.
‘’Saat tarif impor yang tinggi diberlakukan akan membuat pelaku pasar khawatir akan inflasi AS yang berat untuk mencapai target The Fed sebesar 2%. Jika hal ini terjadi akan membuat bank sentral memilih menahan suku bunga,’’ ujar Nanang kepada Kontan.co.id, Jumat (31/1).
Menurut Nanang, pergerakan rupiah sangat rentan pekan depan, terutama dipengaruhi kabar dari Amerika perihal penerapan bea tarif impor. Di samping itu, data - data penting akan dirilis seperti data ketenagakerjaan, ISM Manufacturing dan ISM Service PMI.
Dari dalam negeri, data manufaktur bakal dirilis di awal pekan. Selain itu, pasar memperhatikan rilis data inflasi Indonesia yang dipublikasi pada Senin (3/2).
Baca Juga: Aliran Modal Asing Keluar Indonesia Rp 820 Miliar Akhir Januari 2025
Prediksi rupiah
Nanang memperkirakan, rupiah akan bergerak melemah di awal pekan dengan mencoba bergerak di atas Rp 16.270 - Rp 16.340 per dolar AS. Lukman memperkirakan rupiah di hari Senin akan bergerak di rentang Rp 16.250 – Rp 16.400 per dolar AS.
Mengutip Bloomberg, Jumat (31/1), rupiah spot ditutup di level Rp 16.304 per dolar AS. Secara mingguan, rupiah melemah sekitar 0,82% dari level akhir pekan lalu. Secara harian, rupiah spot melemah sekitar 0,30% dari level penutupan kemarin Rp 16.260 per dolar AS.
Sedangkan, rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) ditutup pada level Rp 16.312 per dolar AS. Rupiah jisdor BI melemah sekitar 0,69% secara mingguan dan melemah 0,32% secara harian.
Selanjutnya: Pemerintah Tegaskan Tak Ada Kenaikan Harga Gas LPG 3kg
Menarik Dibaca: Cara Tercepat Turunkan Gula Darah Tinggi Ketika Darurat di Rumah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News