kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

Tabungan emas ala Gold Bullion Indonesia


Selasa, 05 Maret 2013 / 07:25 WIB
Tabungan emas ala Gold Bullion Indonesia
ILUSTRASI. Bagi kamu yang sudah divaksin Covid-19 tapi belum memiliki sertifikat, sebaiknya langsung mengurusnya. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Agung Jatmiko, Rizki Caturini | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Perusahaan yang menawarkan jual beli emas dengan keuntungan tetap (fixed income) per bulan tampaknya memang sedang marak. Satu lagi perusahaan yang menawarkan sistem ini adalah PT Golden Bullion Indonesia (GBI). Dalam brosur produknya, GBI menyebut skema penawaran berupa tabungan emas berbasis syariah.

Serupa dengan PT Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) yang saat ini sedang terbelit masalah, GBI juga mendapat sertifikat dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). GBI mendapatkan sertifikasi yang menyatakan bisnisnya sesuai dengan syariah pada 20 Januari 2012.Sebulan setelah itu, GBI resmi berdiri dan menjalankan bisnisnya.

Rendra, Agent Management GBI menjelaskan, meski menawarkan harga emas 20%-30% di atas harga emas Logam Mulia PT Aneka Tambang (Antam), nasabah tetap akan mendapatkan emas fisik plus atthoya (bonus). Nah, minimal pembelian emas sebesar 50 gram untuk produk yang bernama Sakinah.

Nasbah produk Sakinah  akan mendapatkan atthoya sebesar 2,5% per bulan selama masa kontrak minimal empat bulan. Pada akhir kontrak, nasabah diberikan pilihan ingin menjual emasnya (buy back guarantee) ke GBI atau kembali memperpanjang kontrak. "Jika harga emas di atas harga yang ditetapkan oleh GBI, nasabah bisa saja menjual emas di luar, tapi setelah masa kontrak empat bulan selesai," kata Rendra.

Selain Sakinah, GBI juga menawarkan produk Al-Fajar. Produk ini menawarkan pembelian emas dengan atthoya hanya awal sebesar 8% dari harga pembelian. Dari ilustrasi produk pada brosur, jumlah emas minimal yang dibeli nasabah untuk produk ini seberat 300 gram.

Menurut GBI, dana nasabah yang terkumpul GBI gunakan untuk membeli emas di tambang lalu dimurnikan di Antam dan bersertifikasi Antam. GBI mendapatkan emas dengan harga di bawah harga emas ANTAM dan cukup membayar biaya sertifikasi saja. Jadi, GBI membeli emas dengan harga di bawah harga Antam, tapi menjual ke nasabah dengan harga yang lebih tinggi dari harga Antam.

Saat ini GBI telah memiliki lebih dari 20.000 nasabah. Sejak awal berdiri di 2012 hingga kini, GBI telah berhasil menjual sebanyak 3,5 ton emas di 23 kantor cabang mereka.

Izin belum jelas

Rendra mengaku, dalam menjalankan usaha jual beli emas, selama ini GBI telah mendapatkan izin dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Namun Kepala Biro Hukum Bappebti, Alfons Samosir menyatakan, Bappebti tidak pernah mengeluarkan izin untuk GBI. "Bappebti hanya mengeluarkan izin untuk perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang komoditas berjangka atau lebih dikenal dengan futures," kata Alfons.

Pengamat ekonomi syariah yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DSN MUI, Adiwarman Karim mengatakan, dengan skema bisnis menjual emas di atas harga pasar, MUI menilai, perusahaan seperti ini termasuk perusahaan investasi. Umumnya, mereka belum memiliki kelengkapan izin berdagang emas dan investasi. "Oleh karena itu mereka diminta melengkapi izin  dan mereka menyanggupi," ujar Adiwarman.

Jika perusahaan telah mendapatkan sertifikasi dari BSN MUI, artinya ketika mereka melakukan presentasi, MUI menyatakan perusahaan itu telah sesuai dengan syariah.  Nah, meski perizinan belum lengkap, DSN MUI tetap menerbitkan sertifikasi syariah itu, termasuk kepada GBI. Lantaran tidak ada lembaga yang mengawasi dan melakukan verifikasi izin usaha, perusahaan yang belum berizin sesuai standar seperti ini tetap bisa berjalan.

Setelah kasus seperti GTIS menyeruak, kemudian MUI baru bisa kembali melakukan review izin usaha mereka. "Pelajaran bagi MUI untuk tidak begitu saja memberikan label syariah pada perusahaan yang belum memenuhi izin dari yang berwenang," ujar Adiwarman.

Toh, Rendra tidak khawatir bisnis GBI bisa terancam lantaran GTIS saat ini sedang menuai masalah. "Kami tidak memiliki produk non-fisik dan transaksi di GBI lebih transparan," kata dia.   

Juni Sutikno, analis Philip Futures Indonesia berpendapat, jenis usaha yang menggunakan imbal janji fixed income sebenarnya sudah tidak wajar. Ia mengingatkan, setiap jenis investasi pasti selalu ada risiko.

Kiswoyo Adi Joe, Managing Partner Investa Saran Mandiri menilai, bentuk-bentuk usaha semacam ini sama  saja dengan money game. Bahkan dia mencurigai, uang yang dibayarkan nasabah untuk membeli emas dengan harga jauh lebih mahal daripada di Antam, sebenarnya dibayarkan kembali ke nasabah setiap bulan. "Jadi, jumlah imbal hasil yang dibayarkan ini sebenarnya bukan hadiah (atthoya), karena nasabah menerima uang miliknya sendiri," kata Kiswoyo.

Umur perusahaan dengan sistem semacam ini rata-rata hanya bertahan dua atau tiga tahun. "Setelah itu baru terlihat berbagai keanehannya," kata Kiswoyo.   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×