Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Ada pelajaran penting dari kasus investasi bodong yang dilakukan Raihan Jewelry dan Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS). Menurut Sutito, Pendiri Badan Perlindungan Investor dan Nasabah, kasus tersebut memperlihatkan celah regulasi maupun pengawasan aktivitas perusahaan berjangka maupun investasi komoditas.
Seperti diketahui, pihak otoritas saling lempar tanggungjawab ketika kasus Raihan dan GTIS muncul. Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) membantah telah menerbitkan izin sebagai perusahaan investasi kepada Raihan dan GTIS.
Kemendag dan Bappebti hanya memberikan surat izin usaha perdagangan (SIUP) emas kepada Raihan dan Bappebti. Imbasnya, Kemdag dan Bappebti lepas tangan ketika Raihan dan GTIS ternyata menjalankan usaha investasi emas yang belakangan diketahui bodong.
Saling lempar tanggungjawab itu merupakan imbas dari tercecernya kewenangan regulasi perusahaan perdagangan berjangka dan investasi. Saat ini, izin perusahaan perdagangan berjangka komoditi dikeluarkan oleh Kemdag dan Bappebti yang diatur oleh Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2011 tentang perdagangan berjangka komoditi.
Sementara izin usaha investasi dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau dulu bernama Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Payung hukum ini adalah UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang pasar modal.
Menurut Sutito, izin perdagangan komoditi yang dipegang Bappebti seharusnya disatukan saja dengan OJK. Ide ini sebenarnya sudah pernah dibahas ketika penyusunan UU pasar modal.
Penyatuan Bappebti ke OJK ini sangat logis. Pasalnya, perdagangan komoditi berjangka pada dasarnya bukanlah jual beli komoditi. Tapi, hanya perdagangan surat berharga atas komoditi tersebut.
Sayangnya, ide itu kemudian mandek karena Kemendag dan Bappebti menginginkan regulasi dan kewenangan sendiri. Akhirnya, dibuatlah UU perdagangan komoditi berjangka tersebut.
Hemat saya, ide penyatuan tersebut seharusnya dibahas kembali seiring maraknya investasi bodong. Terlebih UU OJK masih sederhana sehingga memungkinan revisi lanjutan terutama mengenai penyatuan Bappebti ke dalam OJK.
Penyatuan ini tentu membutuhkan waktu terutama dalam hal payung hukum maupun infrastruktur lainnya. Di sisi lain, sudah ada ribuan orang banyak yang menanggung rugi akibat kelakuan perusahaan bodong seperti Raihan dan GTIS.
Pada saat ini, semua otoritas baik itu Bappebti, OJK maupun pihak kepolisian dituntut saling bersinergi. Pasalnya, Raihan dan GTIS setidaknya melakukan tiga pelanggaran.
Pertama, Raihan dan GTIS menjalankan usaha investasi emas padahal Bappebti hanya memberikan izin perdagangan emas. Ini membuat Raihan dan GTIS melanggar administrasi izin seperti diatur UU perdagangan komoditi berjangka. Bappebti harus mencabut SIUP emas yang dimiliki Raihan dan GTIS.
Kedua, Raihan dan GTIS melanggar UU pasar modal. Sebab, dua perusahaan itu tidak memiliki izin usaha investasi emas tapi justru melakukannya. Peran OJK untuk turut menindak Raihan dan GTIS wajib ada. Sanksinya bisa dikenakan kepada Raihan dan GTIS berupa dua hal yaitu pidana maupun denda.
Ketiga, Raihan dan GTIS diduga menggelapkan dana investasi nasabah. Ini tentu masuk ke dalam pelanggaran pidana umum yang menjadi domain Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Penggelapan dana ini harus diselidiki oleh POLRI secara serius karena melibatkan ribuan orang dan dana triliunan rupiah.
Sutito, meminta kasus penggelapan ini ditangani langsung oleh Markas Besar (Mabes) Polri. Jangan sampai terjadi kasus penanganan investasi bodong yang dilakukan Koperasi Langit Biru (KLB).
Awalnya, kasus KLB ditangani Mabes Polri tapi kemudian justru diserahkan kepada Kepolisian Resor Tangerang. Imbasnya, penanganan kasus tersebut tidak maksimal dan tidak menjamin nasib dana nasabah.
Untuk itu, pada situasi seperti sekarang, ketiga pihak jangan saling lempar tanggung-jawab. Ketiga pihak justru dituntut saling bekerja sama mengungkap kasus investasi bodong Raihan dan GTIS agar ribuan nasabah bisa terjamin haknya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News