Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Tidak semua instrumen investasi sesuai dengan investor. Perlu kecermatan untuk menyesuaikan instrumen investasi dengan profil risiko seseorang. Demikian prinsip yang dipegang Sunggul Situmorang, Direktur Utama PT Jisawi Finas FMC, dalam berinvestasi.
Saat mengawali karir sebagai Chief Accounting Supervisor, Sunggul belum bisa menentukan instrumen investasi yang tepat bagi dirinya. Baru pada tahun 1997 setelah bekerja di bidang pasar modal, Sunggul percaya diri untuk berinvestasi di instrumen saham.
Saat itu, Sunggul lebih memilih saham-saham perusahaan yang baru masuk ke bursa, alias saham Initial Public Offering (IPO). Dia berkeyakinan, saham IPO memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi. Peluang return saham IPO, tutur Sunggul, minimal 5% per tahun.
Akhirnya, mulailah dia memberanikan diri membeli saham-saham IPO seperti saham PT Bank Negara Indonesia, Tbk (BBNI) dan beberapa saham dari industri manufaktur.
"Ketika investasi pertama, saya memang masih mencoba-coba, dan banyak melihat cara teman berinvestasi. Setelah itu saya mulai mencari instrumen yang tepat yang sesuai dengan saya sendiri," ujar dia.
Pada 1998, pasar modal Indonesia terguncang krisis ekonomi, harga saham berjatuhan. Otomatis, investasi Sunggul ikut seret.
Tak cuma itu, perusahaan tempat Sunggul bekerja, juga ikut terimbas krisis moneter. Sunggul yang masih menjabat sebagai asisten manajer pun mengalami pemotongan gaji sampai 5%. Padahal, pada saat itu Sunggul sedang mencicil kredit rumah.
Cenderung konservatif
Beban cicilan rumah dan berbagai kebutuhan hidup mendesak Sunggul untuk mengundurkan diri dari perusahaan tersebut. Ia pun mencoba peruntungannya di tempat yang lain.
Pada tahun yang sama, dia memperoleh izin sebagai Manajer Investasi. "Saat itu saya sudah bekerja untuk Jisawi Finas sebagai asisten menajer. Namun karena tidak kuat bekerja di pasar modal karena gaji yang rendah, saya pindah ke industri lain," ujar pria berumur 50 tahun ini.
Sunggul pun bekerja sebagai Senior Internal Auditor di PT Circle International Indonesia, Jakarta hingga tahun 2000. Investasinya di saham sempat beberapa kali terbengkalai.
Setelah krisis ekonomi mereda, ia pun kembali dipanggil oleh PT Jisawi Finas untuk bekerja sebagai manajer investasi. Di situ, ia mulai mengenal reksadana.
Dia memilih reksadana saham dan reksadana pendapatan tetap sebagai alat membiakkan dana. Mulanya, reksadana saham masih menjadi pilihan favorit Sunggul.
Tahun 2002 dia mulai menikmati hasil dari investasinya. Profil risiko Sunggul, yang cenderung moderat, menjadi alasan dia mempertahankan dana di reksadana pendapatan tetap.
Selama dua tahun belakangan ini, Sunggul menilai masa keemasan saham sudah mulai pudar. Apalagi, risikonya cenderung besar dengan ketidakpastian kondisi perekonomian global. Makanya, pada tahun 2010, Sunggul mulai mengalihkan seluruh portofolionya ke reksadana pendapatan tetap.
Hampir 80% portofolio dia merupakan reksadana pendapatan tetap. Hanya 5% dana yang tersisa berada di reksadana saham. Selebihnya, dia lebih suka menempatkan dana di deposito.
Kini, profil risikonya cenderung konservatif dan menghindari resiko yang besar. Yang paling penting, Sunggul bisa memperoleh return di atas bunga deposito. Seiring bertambahnya usia, dia lebih menginginkan agar bisa memperoleh return stabil.
Yang terpenting bagi investor, menurut Sunggul, adalah memilih produk yang benar-benar dipahami. Jangan mudah percaya dan tergiur dengan iming-iming return tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News