Reporter: Danielisa Putriadita | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Yield Surat Utang Negara (SUN) mulai bergerak naik setelah yield US Treasury menyentuh level tertinggi. Alhasil, dampak penurunan suku bunga BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) dalam menurunkan yield SUN belum terasa.
Berdasarkan Bloomberg, Jumat (19/2), yield US Treasury kembali menyentuh rekor tertinggi sejak Februari 2020 di level 1,34%. Kompak, yield SUN tenor 10 thuan bergerak naik menjadi di level 6,52% dari level 6,2% di Selasa (16/2).
Ekonom Samuel Sekuritas Ahmad Mikail Zaini mengatakan yield US Treasury terus naik karena defisit anggaran AS membesar. Defisit tersebut bertambah karena AS berencana mengeluarkan stimulus besar-besaran. Alhasil, potensi penerbitan surat utang AS bertambah sementara permintaan pasar belum seimbang.
"Pertanyaanya siapa yang akan menyerap US Treasury, kepemilikan surat utang AS oleh China menurun, Jepang juga stagnan, sementara The Fed tidak mungkin menyerap semua," kata Mikail.
Di tengah yeild US Treasury bergerak naik, BI justru menurunkan suku bunga. Mikail mengatakan dampak penurunan suku bunga BI saat yield US Treasury dalam tren naik dapat membuat spread antara yield US Treasury dan yield SUN semakin tipis. Hingga akhirnya mendorong pelaku pasar keluar dari pasar obligasi maupun rupiah (capital outflow).
Baca Juga: Era Suku Bunga Rendah, Investasi di Obligasi dan Saham bisa Jadi Pilihan
Sayangnya, Mikail memproyeksikan yield US treasury ke depan masih akan naik. "Jika yield US Treasury naik ke 1,5% maka yield SUN berpotensi naik ke level 6,7%-6,9%," kata Mikail.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario mengatakan kenaikan yield US Treasury juga dipengaruhi oleh sentimen negatif dari pandemi yang tidak kunjung mereda baik di AS mupun Indonesia.
Secara teori Ramdhan mengatakan penurunan suku bunga harusnya bisa membuat yield turun atau harga SUN naik. Namun, di tengah kondisi yang tidak pasti akibat pandemi, ujungnya hanya membuat investor bersikap wait and see.
Jika pandemi sudah reda dan tren suku bunga rendah masih dijalankan, Ramdhan memproyeksikan yield SUN tahun ini berpotensi menurun ke bawah 6%. "Asing berpotensi masuk lagi, likuiditas juga masih baik selama tren suku bunga rendah secara global masih diterapkan," kata Ramdhan.
Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana menambahkan, di satu sisi melihat yield SUN yang terus naik di atas 6%, seharusnya bisa semakin menarik investor asing untuk masuk. "Sebenarnya yield di atas 6% sangat prospektif dan menarik apalagi di tengah BI yang percaya diri menurunkan suku bunga acuannya," kata Fikri.
Suku bunga turun juga menandakan risiko dalam negeri rendah, inflasi pun dapat terjaga di level rendah. Dengan begitu, investor berpotensi dapatkan real interest rate yang lebih tinggi.
Faktor yang membuat inflasi diproyeksikan tetap terjaga adalah perbaikan ekonomi yang belum terjadi secepat seperti yang diharapkan.
"Dengan yield SUN di 6,5% dan inflasi di 2% maka ada spread 450 basis poin ini lebih menarik dibanding yield US treasury, tetapi dengan catatan rupiah tetap bergerak stabil terhadap rupiah," kata Fikri.
Selanjutnya: Kendati Yield US Treasury Naik, Pergerakan SUN Tetap Stabil
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News