Reporter: Nadya Zahira | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada Rabu (24/6). Sehingga, suku bunga acuan kini berada di level 6,25%. Hal ini membuat investor perlu memiliki strategi investasi, guna mengoptimalkan return dan meminimalkan risiko yang ada.
Direktur Asosiasi Riset dan Investasi Pilarmas Investindo, Maximilianus Nico Demus mengatakan, terdapat tiga variabel yang bisa menjadi patokan dalam menerapkan strategi investasi, yang pertama adalah tujuan investasi, kedua adalah jangka waktu investasi, dan yang ketiga adalah profil risiko investor.
“Itu menjadi poin yang sangat penting. Setelah itu bisa dikaitkan dengan situasi dan kondisi makro ekonomi yang ada saat ini salah satunya, seperti suku bunga yang sedang naik,” ujar Nico kepada Kontan.co.id, Senin (29/4).
Menurut Nico, ketika suku bunga sedang naik, otomatis akan menurunkan daya tarik berinvestasi di aset-aset yang berisiko seperti saham. Untuk itu, investor harus meracik alokasi investasi yang defensif.
Baca Juga: Rekomendasi Saham Unggulan Pasca Suku Bunga Naik & Pasar Dibayangi Sentimen Negatif
Dia menilai, saat suku bunga acuan BI Rate berada di 6,25%, investor bisa melirik saham-saham berbasis komoditas yang memang menjadi unggulan Indonesia, seperti batubara dan juga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Selain itu, investor juga bisa mencermati emiten telekomunikasi.
“Saham-saham komoditas masih menjadi pelindung, apalagi harga komoditas saat ini diprediksi masih terus naik. Kemudian saham telekomunikasi,” kata Nico.
Selain itu, Nico menuturkan, investor juga bisa mengurangi porsi di saham dan memperbanyak instrumen pasar uang dan obligasi saat suku bunga tinggi. Dengan kenaikan suku bunga, biasanya investor akan meningkatkan investasi di porsi investasi yang risikonya lebih rendah.
“Jika biasanya porsi portofolio 20% di pasar uang, 40% di obligasi, dan 40% saham, maka investor bisa bergeser menjadi 30% pasar uang, 40% obligasi, dan 30% dalam bentuk saham,” ungkapnya.
Nico mengatakan, investasi emas juga bisa menjadi pilihan di tengah kenaikan suku bunga seperti saat ini. Namun, investor harus memperhatikan kondisi dan situasi ekonomi terlebih dahulu. Apabila terjadi konflik perang atau geopolitik, emas menjadi salah satu instrumen investasi yang sangat tepat untuk dipilih, karena harganya akan naik.
Baca Juga: Tekanan Belum Mereda, Sebaiknya Selektif Beli Saham Defensif
Sementara itu, Head Customer Literation and Education PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi mengatakan bahwa di era suku bunga tinggi akan membuat ketidakpastian ekonomi meningkat karena potensi daya beli yang tergerus.
Dengan begitu, Audi melihat saham-saham kategori cyclical atau yang sensitif terhadap perubahan makro ekonomi akan terdampak negatif.
“Sehingga investor cenderung dapat meningkatkan bobot pada saham defensif atau yang pendapatannya tidak terpengaruh signifikan pada perubahan suku bunga, selain itu saham utilitas dan konsumer yang stabil,” kata Audi kepada Kontan.co.id, Senin (29/4).
Audi menuturkan, sedangkan untuk saham konsumer noncyclical diperkirakan akan tetap menarik, terlebih yang masih mencatatkan pendapatan stabil. Tak hanya itu, saham utilitas seperti infrastruktur telekomunikasi dan infrastruktur gas diperkirakan juga masih akan lebih stabil di saat kenaikan suku bunga.
“Sedangkan untuk perbankan, kami melihat ada dua sisi dengan tertahannya suku bunga acuan di level tinggi, yaitu akan berdampak positif dengan potensi NIM yang meningkat, tetapi di sisi lain, kekhawatiran akan NPL yang meningkat karena daya beli yang tergerus,” kata dia.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Pilihan Analis Usai Kenaikan BI Rate
Oleh sebab itu, Audi menyarankan kepada para investor untuk lebih cenderung moderat dengan meningkatkan bobot pada saham-saham berkategori seperti di atas. Jika mulai terjadi pelonggaran kebijakan moneter atawa penurunan suku bunga, maka investor dapat kembali agresif dengan meningkatkan alokasi pada saham kategori cyclical.
Audi menambahkan, sebagai gambaran, dari sisi aset alokasi yang bisa dipertimbangkan oleh investor saat ini sesuai dengan karakteristiknya. Pertama, untuk investor dengan profil risiko agresif bisa menaruh asetnya di saham 50%, obligasi 30%, dan cash atau pasar uang 20%.
Kedua, bagi investor dengan profil risiko moderat bisa menaruh asetnya di saham sebesar 30%, obligasi 40%, dan cash atau pasar uang 30%.
Kemudian, yang ketiga, untuk investor dengan profil risiko konservatif bisa menaruh aset di saham sebanyak 20%, obligasi 50%, dan cash atau pasar uang sebanyak 30%.
Baca Juga: BI Tingkatkan Suku Bunga, Begini Investasi di Pasar Obligasi
Sementara Nico, menyarankan bagi investor dengan profil risiko agresif bisa menaruh asetnya di saham sebanyak 50%, obligasi 30%, dan deposito 20%.
Selanjutnya, bagi investor dengan profil risiko moderat bisa menaruh asetnya di saham sebesar 30%, obligasi 50%, dan deposito 20%.
Sedangkan bagi investor konservatif, bisa dapat menaruh asetnya di deposito sebanyak 50%, obligasi 40%, dan saham hanya 10%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News