Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Siang ini, PT Agis Tbk (TMPI) menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) dengan agenda perubahan nama perusahaan. Perubahan dilakukan seiring alih bisnis perusahaan yang tadinya bergerak di bidang distribusi barang elektronik ke sektor tambang.
Selain menggarap tambang emas, TMPI akan masuk ke bisnis pengolahan bijih besi. Pada kesempatan sebelumnya, Direktur Utama TMPI, Steven Kusuma bilang, pihaknya menggandeng perusahaan China, Fujian Xinjifu Enterprise untuk menjalankan bisnis ini dengan konsep joint venture, yang mana TMPI memegang kendali 51% atas proyek.
Jika semua urusan lisensi sudah selesai, maka smelter bijih besi di bangun di atas lahan seluas 10 hektare di Semarang. Targetnya, smelter itu bisa beroperasi 2015 mendatang. "Jika prospeknya bagus, kami akan berekspansi, membuka smelter baru yang dekat dengan sumber daya bijih besi seperti di Kalimantan Tengah," imbuh Steven.
Nah, tampaknya bukan perkara mudah bagi TMPI menjajal bisnis barunya itu. Sebab, banyak masalah yang harus dihadapi manajemen di bisnis pengolahan bijih besi.
Mengutip hasil riset Perekayasa & Peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Winda Rianti, (28/10), sektor yang akan dijalani TMPI masih menghadapi memiliki kendala dan hambatan.
Contohnya adalah, bahan baku smelter tersebut, yakni ferro scrap dikategorikan sebagai limbah non B3. Sedangkan, pemerintah belum memiliki kebijakan yang mengatur tata niaga ferro scrap sebagai bahan baku industri. "Negara lain sudah menerapkan standar internasional ISRI dengan pengotor kurang lebih 2%," ujar Winda, peneliti BBPT tersebut.
Selain itu, kata Winda, akan ada kendala lain yang bakal dihadapi. Yaitu, masalah harga dan ketersediaan bijih besi dan scrap yang tidak stabil, dan bahan baku dan pemaduan (ferro alloy) yang masih impor.
Lalu, ada juga kendala harga energi yang terlalu tinggi, dengan kuantitas suplai energi listrik belum stabil dan sering terjadi shortage pada pasokan gas. Belum lagi, masalah lingkungan, dimana jika ada regulasi terkait hal ini, akan sulit memenuhi standar lingkungannya.
Tidak cukup sampai disana, kata Winda, pasar menjadi hal yang wajib diperhatikan di sektor ini. Saat ini, pasar bijih besi dalam negeri direbut produk impor dengan harga dumping. Kondisi ini dipersulit dengan banyaknya proyek APBN yang menggunakan produk impor ketimbang produk dalam negeri.
Sementara dari sisi infrastruktur, permasalahan yang masih dihadapi adalah, belum maksimalnya peningkatan transportasi yang menunjang industri baja. "Saat ini diperlukan sarana transportasi dengan biaya yang lebih murah, misalnya kereta api, untuk memperoleh bahan baku dan distribusi produk bajanya," pungkas Winda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News