Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mata uang yuan China terdepresiasi menembus 7 yuan per dolar AS yang merupakan level terendah sejak 2008. Ada beberapa emiten infrastruktur yang kena imbas positif maupun negatif terhadap pelemahan mata uang yuan.
Analis MNC Sekuritas Rudy Setiawan menjelaskan, pelemahan yuan tidak akan berpengaruh signifikan kepada emiten infrastruktur. “Meskipun memang beberapa proyek infrastruktur melakukan joint venture dengan beberapa perusahaan China, tetapi untuk saat ini faktor yang justru harus diperhatikan oleh investor adalah realisasi dari kontrak baru yang akan didapatkan pada tahun ini,” kata Rudy kepada Kontan.co.id, Selasa (6/8).
Baca Juga: Saham perbankan tergerus bersama IHSG, ini rekomendasi selanjutnya
Rudy bilang ditambah juga dengan pendanaan yang mereka dapatkan untuk dapat mengerjakan proyek tersebut. Rudy menyatakan perusahaan infrastruktur yang akan terdampak adalah PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT PP Tbk (PTPP). Dalam beberapa proyek, China juga terlibat dalam konsorsium. Walaupun begitu, Rudy menilai hal ini tidak berdampak signifikan.
Menurut Rudy, WIKA dan PTPP masih layal beli karena sentimen proyek yang saat ini dijalankan sudah berhasil. Rudy bilang beberapa proyek WIKA berhasil didapatkan dari luar negeri seperti di Afrika dan juga beberapa proyek on going seperti kereta cepat dan tender MRT fase 2.
Adapun sentimen bagi PTPP menurut Rudy seperti jalan tol Semarang-Demak dan juga rencana pemindahan ibukota lebih mendapat katalis positif karena sebagai emiten holding perumahan.
Rudy menyarankan investor untuk membeli saham WIKA di target harga Rp 2.220 dan PTPP di Rp 2.490 per saham.
Baca Juga: Devaluasi Yuan Picu Perang Kurs, Siapa yang Untung dan yang Rugi? premium
Kepala Riset Infovesta Utama Wawan Hendrayana menjelaskan, di tengah keadaan yuan yang melemah artinya harga barang dari China menjadi lebih murah. "Di satu sisi ini bisa menguntungkan bagi pihak yang impor, namun di sisi lain currency war bisa membuat produsen lokal akan dirugikan karena sulit bersaing dengan barang dari China," jelasnya.
Masifnya ekspansi China ke proyek infrastruktur menurut Wawan yang masih ideal sebagai wadah investasi adalah emiten telekomunikasi. Menurut Wawan, sentimen berasal dari dalam negeri sebab produk yang melayani kebutuhan internet akan terus menguat.
Wawan merekomendasikan emiten PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM). Walaupun menurut dia emiten telekomunikasi lainnya juga diuntungkan, namun secara fundamental seperti PT Indosat Ooredo Tbk (ISAT) dan PT XL Axiata Tbk (EXCL) mencatatkan utang yang besar, sehingga beban bunga juga menumpuk. Alhasil akan rawan rugi kurs bila dolar menguat.
Baca Juga: Mati Lampu Total, PLN Harus Membayar Kompensasi Hingga Rp 1 Triliun
Mencermati masalah yuan yang melemah, TLKM akan diuntungkan karena beberapa infrastrukturnya berasal dari China. Beberapa waktu lalu, Telkomsel juga telah menandatangani perjanjian kemitraan strategis dengan Huawei, dalam Mobile World Congress 2019 (MWC 2019) di Barcelona. Kerja sama ini merupakan upaya Telkomsel untuk mengembangkan TIK di Indonesia.
Walaupun sebelumnya Huawei masuk dalam daftar hitam AS, Wawan menyatakan saat ini sentimen negatif atas masalah tersebut belum berdampak pada TLKM.
Baca Juga: Pendapatan Indosat Ooredoo (ISAT) mencapai Rp 12,3 triliun di semester I 2019
Wawan mencermati saham TLKM saat ini berada di level Rp 4.130 per saham dan di akhir tahun bisa mencapai Rp 4.800 sehingga masih ada potensi naik 16,22% dari saat ini. Strategi yang bisa dilakukan investor adalah menahan sahamnya dan jual di akhir tahun ketika sahamnya sudah pada posisi tertingginya.
Melihat pendapatan dan perolehan kinerjanya yang bagus di semester I, saham TLKM akan melanjutkan penguatan hingga akhir tahun. Wawan menyarankan strategi paling tepat adalah buy on weakness. Jika ada koreksi investor bisa beli sahamnya.
Baca Juga: Emiten telekomunikasi kompak bukukan perbaikan kinerja di semester I 2019
Selain itu untuk investor long term, Wawan memproyeksikan saham TLKM dalam tiga tahun ke depan bisa tembus Rp 5.000 diharapkan bisa konsisten karena peluang bisnis seluler dan internet masih potensial.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News