Reporter: Noor Muhammad Falih | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Realisasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi katalis utama pergerakan harga efek di pasar modal. Makanya, manajer investasi perlu menyusun ulang strategi menghadapi hal tersebut. Meracik ulang portofolio sangat memungkinkan, terlebih pada produk campuran. Sebab, jenis campuran memungkinkan manajer investasi masuk ke segala jenis efek.
Salah satu yang menyusun ulang strategi adalah PT Bahana TCW Investment Management pada produk reksadana campuran Bahana Dana Infrastruktur. Presiden Direktur Bahana TCW Edward P. Lubis mengatakan, kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi momentum tepat menambah porsi saham pada portofolio reksadana campuran. “Porsi saham kita tambah, porsi surat utang kita kurangi,” ujarnya.
Menurutnya, kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI rate) 0,25 basis poin menjadi 7,75% menjadi penghambat pertumbuhan harga obligasi. Sebab, investor meminta yield lebih tinggi. Dengan demikian, pada produk ini porsi saham bisa mendominasi hingga lebih 70% dari dana kelolaan.
Sedangkan, efek pasar uang sebesar 15% dan surat utang hanya 15%. Padahal, mengutip fund fact sheet per Oktober 2014, porsi surat utang mencapai 22,8%, meskipun rata-rata berdurasi pendek. Bahkan, saat ini, prospek deposito masih jauh lebih baik dibandingkan obligasi.
Produk yang terbit 27 Mei 1997 ini merupakan reksadana tematik infrastruktur. Jadi, efek yang menjadi aset dasar berasal dan terkait dengan infrastruktur. Edward yakin, peralihan subsidi BBM untuk membangun infrastruktur bisa meningkatkan kinerja emiten sektor ini.
Secara year to date hingga 18 November 2014, Bahana Dana Infrastruktur telah menorehkan imbal hasil 18,13%. Kinerja ini di atas rata-rata return reksadana campuran dalam Infovesta Balanced Fund Index, yaitu 14,4%. Nilai aktiva bersih per unit penyertaan produk ini senilai 8271,68. Investor bisa mengoleksi produk ini dengan investasi awal Rp 100.000. Investor akan dikutip biaya pembelian 1,5%.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee bilang, saat ini, pasar obligasi memang cukup tertekan akibat kenaikan BI rate. Jadi, strategi memperbesar porsi saham sudah tepat dilakukan. Namun Hans mengingatkan, meski investor saat ini mengapresiasi pasar saham, masih ada potensi turun.
Bagaimanapun kenaikan harga BBM akan meningkatkan biaya produksi sejumlah emiten. “Sehingga MI harus pintar memilih emiten yang kinerjanya minim kena dampak BBM,” jelasnya. Ia juga menyarankan, porsi aset di pasar saham cukup 60%. Pasalnya, tahun depan, masih ada kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika. "Ini bisa menyebabkan pasar kembali lesu. Asing cenderung lebih tertarik berinvestasi di AS," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News