Reporter: Dimas Andi | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Awan mendung masih berpotensi menghampiri emiten-emiten yang bergerak di sektor semen. Kelebihan pasokan kembali mengancam aktivitas bisnis dan kinerja emiten-emiten tersebut di tahun depan.
Analis Mirae Asset Sekuritas, Mimi Halimin menyampaikan, sentimen kelebihan pasokan bukan hal yang baru dalam industri semen. Sejak 2012 hingga 2017, laju pertumbuhan majemuk tahunan atau compound annual growth rate (CAGR) konsumsi semen hanya mencapai 3,7%. Angka ini lebih lambat dari CAGR pasokan semen yang tumbuh 12,3% di periode yang sama.
Tahun ini pun konsumsi semen domestik masih tergolong lambat. Hingga November 2018, konsumsi semen domestik hanya mampu tumbuh 4,9% (yoy). Padahal, bulan November tahun lalu konsumsi semen domestik masih bisa tumbuh 7,8% (yoy).
Dia menambahkan, kelebihan pasokan masih akan terjadi di tahun 2019 mendatang. Hal ini seiring pertumbuhan konsumsi semen domestik yang diperkirakan akan tumbuh sekitar 5% (yoy) menjadi 73,6 juta ton. Sebaliknya, pasokan semen domestik kemungkinan akan mencapai 113 juta ton pada tahun depan.
Memang, jumlah pasokan semen hanya akan tumbuh terbatas mengingat banyak produsen semen yang menunda ekspansi akibat rendahnya permintaan. Namun, ekspektasi pertumbuhan ekonomi nasional yang cenderung stagnan juga menghambat konsumsi semen domestik. “Kami memperkirakan konsumsi semen domestik akan tumbuh sekitar 5% pada 2019 dan 2020,” tulis Mimi dalam riset 11 Desember 2018.
Salah satu faktor pendorong potensi rendahnya konsumsi semen domestik di tahun depan adalah melemahnya permintaan dari sektor properti yang sudah terlihat sejak tahun ini.
Mimi menyebut, sekitar 73% dari semen domestik dijual dalam kemasan kantong yang biasa digunakan untuk kebutuhan pembangunan perumahan. Sementara hingga Oktober kemarin, konsumsi semen kantong tumbuh kurang dari 5% (yoy).
Kondisi serupa kemungkinan akan kembali berlanjut pada tahun depan. Pasalnya, sektor properti cukup terpapar oleh sentimen kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia ke level 6% yang diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit serta agenda pemilu serentak.
Menurut Selvi Ocktaviani, Analis NH Korindo Sekuritas, sentimen-sentimen membuat permintaan terhadap sektor properti dari kalangan investor berkurang. Ujung-ujungnya emiten di sektor tersebut akan menahan ekspansi bisnisnya yang kemudian membuat konsumsi semen domestik kembali melambat.
Kendati demikian, para produsen semen sebenarnya bisa sedikit bernapas lega setelah harga batubara dunia mulai memasuki tren penurunan. Selvi menyampaikan, penurunan harga batubara di tahun depan akan mengurangi biaya produksi perusahaan walau tidak signifikan. Ia pun menyebut rata-rata harga batubara dunia akan berada di level US$ 90—US$ 100 per metrik ton di 2019 nanti.
Selama ini, ketika harga batubara berada di level tinggi, emiten semen menyiasatinya dengan mencampur batubara kualitas rendah dan tinggi. “Emiten semen juga mulai menggunakan bahan bakar alternatif seperti biomassa,” ujar dia, akhir pekan lalu.
Selvi sendiri lebih menjagokan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk (INTP) sebagai emiten semen yang berpeluang meraih kinerja apik di tahun depan lantaran porsi utang yang kecil. Kondisi ini membuat beban bunga perusahaan juga kecil sehingga memudahkan langkah dalam berekspansi. Ia merekomendasikan hold saham INTP dengan target Rp 19.950 per saham.
Sementara itu, Mimi memfavoritkan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) di tahun depan dan merekomendasikan hold dengan target Rp 12.800 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News