Reporter: Namira Daufina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Isu lingkungan yang berkembang luas menjadi penyebab utama koreksi harga batubara. Kekhawatiran akan masa depan batubara ini berhasil menyeret harga bergerak di bawah level US$ 100 per metrik ton.
Mengutip Bloomberg, Selasa (15/11) harga batubara kontrak pengiriman Desember 2016 di ICE Futures Exchange tergelincir 0,05% di level US$ 95 per metrik ton dibanding hari sebelumnya. Harga ini bahkan sudah merosot 12,79% dalam sepekan terakhir.
Terbaru, negara-negara maju kembali didesak untuk segera melaksanakan rencana mereka untuk menggunakan energi terbarukan seperti yang sudah disepakati dalam pertemuan di Paris sebelumnya. Target terbaru dipasang yakni pada 2030 mendatang diharapkan semua pembangkit listrik bertenaga batubara di negara maju sudah berhenti beroperasi sepenuhnya.
Dari laporan Climate Analytics ditemukan 8.175 pembangkit batubara yang sudah beroperasi dan 733 pembangkit lainnya yang akan segera beroperasi secara global. Dengan keadaan seperti ini, sulit untuk mengejar target yang sudah dipatok UN yakni menjaga global warming di bawah level 2 derajat celcius.
“Masalah ini sebenarnya tidak pernah hilang di pasar. Selalu menekan pergerakan harga dan membuat pergerakan harga batubara terbatas dan lemah secara fundamental,” kata Wahyu Tri Wibowo, Analis Central Capital Futures.
Ia pun menanggapi rencana Donald Trump, Presiden AS untuk menggenjot aktivitas batubara lagi masih sulit dilaksanakan. Terutama jika mengingat posisi AS yang akan turut mendukung rencana UN tersebut.
Di sisi lain, murahnya harga gas alam juga akan membuat produsen berpikir dua kali sebelum menggunakan batubara. “Selain harga gas alam murah, komoditas itu pun ramah lingkungan,” kata Wahyu. Maka menurutnya wajar jika harga batubara kembali mengalami koreksi dalam beberapa hari terakhir.
Wahyu pun memprediksi, harga batubara masih berpotensi untuk koreksi lagi. “Setelah menembus level US$ 100 per metrik ton, produsen mulai kembali membuka kran produksi. Padahal permintaan di pasar belum terlihat naik sebagaimana yang diharapkan,” jelas Wahyu.
Aksi ambil untung korporasi dengan memproduksi batubara lebih besar ini yang lantas menjegal laju harga di saat isu lingkungan kembali menghangat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News