Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah gencarnya pemerintah membangun infrastruktur, muncul sejumlah kecelakaan kerja di beberapa proyek infrastuktur. Pemerintah pun melakukan audit terhadap berbagai proyek konstruksi tersebut.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sempat memerintahkan penghentian sementara pekerjaan 38 proyek konstruksi layang (elevated). Namun, moratorium ini tak berlangsung lama. Mulai 1 Maret lalu, para kontraktor bisa kembali melanjutkan proyeknya.
Komite Keselamatan Konstruksi mengumumkan, 28 proyek mendapat rekomendasi lanjut tanpa catatan. Lalu 10 proyek lainnya bisa dilanjutkan, namun dengan catatan.
Insiden ini sempat memicu ketidakpastian bagi sejumlah emiten konstruksi. Terutama, emiten yang turut menjalani audit konstruksi layang, seperti PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI). Harga saham ketiga emiten tersebut jgua sempat terkoreksi.
Meski kini proses audit telah rampung, masih ada tekanan yang membayangi sektor konstruksi. Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memberi mandat untuk merombak direksi perusahaan konstruksi pelat merah. "Walaupun pergantian direksi bertujuan positif, tetapi untuk jangka pendek masih ada gejolak," ujar analis Henan Putihrai Sekuritas Calvin Athrasal, kepada KONTAN, akhir pekan lalu.
Pasalnya, pejabat baru yang terpilih, bakal butuh waktu beradaptasi. Manajemen juga perlu melakukan berbagai pembenahan untuk proyek-proyek yang mendapat catatan khusus dari komite keselamatan konstruksi.
Prospek jangka panjang
Dalam jangka panjang, saham konstruksi dinilai masih menjanjikan. Ini sejalan dengan visi pemerintah yang tetap fokus pada pembangunan infrastruktur. Sejak awal tahun saja, indeks saham konstruksi telah tumbuh 8%.
Hanya saja, Calvin tetap mengingatkan, jika kasus kecelakaan kerja terulang lagi, hal ini bisa menyebabkan proyek kembali tertunda dan pembayaran proyek bisa kembali mundur. Alhasil, arus kas emiten konstruksi bisa bermasalah. "Jadi, perusahaan konstruksi harus pandai memutar uang," tandas dia.
Sementara itu, analis CIMB Sekuritas Aurelia Barus menilai, audit yang dilakukan pemerintah merupakan langkah positif untuk meningkatkan kualitas kerja kontraktor. Menurut dia, kemajuan proses konstruksi dan target penyelesaian proyek masih sesuai dengan ketentuan.
Aurelia juga menilai, kinerja pendapatan emiten konstruksi masih bisa mencapai target. Pasalnya, sebagian besar telah lolos proses audit.
Nilai kontrak yang dihadapi oleh kontraktor BUMN hingga akhir 2017 berkisar antara Rp 43 triliun hingga Rp 138,1 triliun. Sehingga, cukup untuk menjamin pendapatan dalam jangka waktu dua setengah tahun ke depan. Aurelia pun masih mempertahankan rekomendasi overweight untuk saham sektor konstruksi.
Keyakinan serupa juga diungkapkan VP Research & Analyst Valbury Asia Securities Nico Omer Jonckheere. Ia malah menyebut, moratorium proyek yang sempat terjadi, sama sekali tak berpengaruh ke kinerja emiten sektor konstruksi.
Karena pada kenyataannya, proyek konstruksi masih tetap berjalan. "Prospek sektor ini masih sangat bagus seiring banyak proyek yang dikerjakan dalam beberapa tahun ke depan," terang dia.
Di sisi lain, kontraktor swasta nampaknya masih tetap kalah pamor. Calvin menilai, hal ini lantaran pemerintah memang banyak mengalokasikan proyek infrastruktur ke kontraktor BUMN. Dari sisi permodalan, kemampuan pendanaan emiten konstruksi BUMN juga lebih kuat ketimbang swasta. Kebanyakan kontraktor swasta pun akhirnya hanya masuk ke pekerjaan subkontrak.
Tapi, menurut Nico, baik emiten konstruksi pelat merah maupun emiten konstruksi swasta akan tetap mengail keuntungan lebih baik dari berbagai proyek infrastruktur di tahun ini. Hanya saja, Nico mengingatkan, emiten konstruksi harus tetap berhati-hati risiko yang muncul akibat pelemahan nilai tukar rupiah yang cukup signifikan akhir-akhir ini.
Gejolak nilai tukar ini dikhawatirkan mempengaruhi proses pendanaan proyek. Apalagi arus kas perusahaan konstruksi biasanya cenderung negatif lantaran harus menambal pendanaan awal untuk mengerjakan proyek. Sehingga, banyak emiten konstruksi yang mengandalkan pendanaan dari utang.
Dari berbagai saham sektor konstruksi, Calvin merekomendasikan beli saham WSKT dengan target harga Rp 3.370 per saham. Ia juga menyukai saham PTPP dan memberikan target harga Rp 4.470 per saham.
Menurut Calvin, kinerja kedua emiten ini cukup stabil. WSKT unggul karena menggarap berbagai proyek besar. Sedangkan PTPP memiliki struktur permodalan yang kuat.
Setali tiga uang, Aurelia juga masih merekomendasikan beli saham WSKT dengan memasang target harga Rp 3.400 per saham. Ia juga tetap merekomendasikan saham PTPP dengan target harga Rp 3.500 per saham. Keduanya dianggap sebagai dua kontraktor terbesar di Indonesia.
Sementara itu, Nico merekomendasikan beli saham WSKT dengan target Rp 3.600 per saham. Lalu di sektor swasta, Nico merekomendasikan PT Nusa Raya Cipta Tbk (NRCA) dengan target harga Rp 510. Harga kedua saham tersebut dinilai masih relatif murah dan mampu menguat dalam jangka menengah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News