Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Pergerakan saham emiten infrastruktur di Bursa Efek Indonesia melambat. Pada Rabu (25/3), indeks infrastruktur terkoreksi 1,45% menjadi 1.093,13. Sejak awal tahun hingga kemarin atau year to date (ytd), indeks ini sudah tersungkur 5,79%.
Kinerja indeks infrastruktur bertolak belakang dengan Indeks Harga Saham Gabungan yang masih bisa mencetak return 3,42% (ytd). Saham infrastruktur terpapar sederet sentimen negatif yang menggelayuti sektor ini. Misalnya, belum bergulirnya proyek infrastruktur, penyerapan anggaran yang masih rendah hingga urusan konflik di pengadilan.
Kabar teranyar, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah membatalkan perjanjian kerjasama pengelolaan air antara PT PAM Jaya dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta (Aetra) yang sudah berlangsung sejak 1997. Kerjasama tersebut dinilai merugikan PAM Jaya dan negara.
Palyja merupakan cucu usaha Grup Astra. Konglomerasi bisnis Astra mengendalikan Palyja melalui PT Astratel Nusantara, yang menguasai 49% saham. Kisruh pengelolaan sumber daya air oleh pihak swasta bukan kali ini saja terjadi.
Pada Februari lalu, Mahkamah Konstitusi telah menghapus UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air (SDA). Keputusan itu berdasarkan permohonan yang diajukan Muhammadiyah.
Para pemohon menilai, penerapan pasal-pasal dalam UU SDA dapat membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan SDA. Hal ini dapat merugikan masyarakat sebagai pengguna air.
Kedua keputusan itu semakin membatasi laju bisnis para pengelola air swasta. Putusan ini juga menjadi peringatan bagi swasta yang memanfaatkan segala sumber daya alam Indonesia seperti air, minyak, gas dan batubara. Ada banyak pihak swasta yang menjadi pengelola sumber daya alam.
Selain Palyja dan Aetra, PT Nusantara Infrastructure Tbk (META) juga memiliki bisnis pengelolaan air. Kemudian PT Rukun Raharja Tbk (RAJA) sebagai penyedia energi terintegrasi dari hulu hingga hilir.
Kepala Riset MNC Securities, Edwin Sebayang menilai, selama ini, pengelolaan sumber daya alam lewat skema kerjasama antara pemerintah dan swasta. Sepanjang tak saling merugikan atau tidak ada kontrak yang dilanggar, keberlangsungan kerjasama itu tidak akan bermasalah.
Kesepakatan antara pemerintah dan swasta tergantung masing-masing kasus. Misalnya, pada kerjasama antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia, Edwin menilai, pemerintah tidak berdaya. "Semua tergantung tawar-menawar pada saat kerjasama. Oleh karena itu, kontrak kerjasama tak bisa disamaratakan," ujar Edwin.
Kepala Riset Universal Broker Indonesia Satrio Utomo menilai, campur tangan swasta dalam pengelolaan sumber daya di dalam negeri sangat beragam dan ada di semua sektor. Memang, kontrak ini seharusnya seimbang. Namun banyak pihak swasta yang hanya memikirkan untung sebesar-besarnya tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.
Managing Partner Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe menambahkan, investasi di bisnis pengelolaan air minum tergolong besar, terutama untuk membangun pipa penyaluran air hingga menjangkau pelanggan. Di sisi lain, pengelola tak dapat bebas menaikan tarif karena akan memberatkan masyarakat.
Meski demikian, Kiswoyo menilai efek kebijakan pemerintah terbilang kecil bagi emiten infrastruktur. Grup Astra sebagai salah satu pemegang saham di Palyja memiliki bisnis utama di sektor otomotif. Sedangkan META memiliki bisnis utama di bidang jalan tol.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News