kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Saham emiten konstruksi masih superseksi


Kamis, 11 Oktober 2012 / 15:12 WIB
Saham emiten konstruksi masih superseksi
ILUSTRASI. Melakukan olahraga berjalan yang memiliki banyak manfaat ternyata dapat dilakukan bahkan saat berbelanja maupun saat travelling. REUTERS/Gonzalo Fuentes


Reporter: Teddy Gumilar, Harris Hadinata | Editor: Imanuel Alexander

Harga saham emiten yang berbisnis konstruksi tahun ini meroket tajam, bahkan naik hingga 100% lebih. Meski begitu, analis menilai, masih ada peluang bagi investor memperoleh cuan di saham-saham konstruksi. Simak ulasannya.

Para investor yang menanamkan duit di saham sektor konstruksi tahun ini pasti tersenyum lebar. Kenaikan harga saham-saham sektor konstruksi sepanjang tahun ini tentu membuat kantong para investor makin gendut.

Pergerakan harga saham emiten sektor konstruksi tahun ini memang dahsyat. Sebagai bukti, lihatlah pergerakan saham PT Wijaya Karya Tbk (WIKA). Di awal tahun, harga saham perusahaan pelat merah ini masih Rp 610 per saham.

Tapi, pada penutupan perdagangan Rabu lalu (3/10), harga saham WIKA sudah mencapai Rp 1.430 per saham, yang merupakan rekor harga tertinggi saham emiten ini. Artinya, kalau Anda sudah menjadi pemegang saham WIKA sejak awal tahun, Anda sudah memperoleh keuntungan sebesar 134,43%. Ini belum termasuk keuntungan dari pembagian dividen, lo!

Begitu juga saham PT Total Bangun Persada Tbk. Pada penutupan perdagangan Rabu lalu, saham yang diperdagangkan dengan kode TOTL ini dilego Rp 640 per saham, yang adalah harga tertingginya. Artinya, sepanjang 2012 ini, harga saham TOTL sudah mengalami kenaikan sekitar 124,56%. Dahsyat, bukan?

Para analis menilai, meroketnya harga saham sektor konstruksi ini seiring dengan kinerja fundamental emiten yang memang masih kokoh. Selain itu, saham konstruksi juga menguat karena faktor pengalihan portofolio investor.

“Investor meninggalkan saham sektor yang kinerjanya bergantung pada ekspor dan beralih ke saham yang fokus pada pasar lokal,” tutur Anthony Alexander, analis Bahana Securities. Saham konstruksi menjadi salah satu sektor incaran para investor.

Masih ada peluang

Meski harga sahamnya sudah meroket, analis menilai, saham-saham sektor konstruksi masih layak menjadi pilihan untuk mengisi portofolio investasi. “Kami masih mempertahankan rekomendasi overweight untuk sektor konstruksi,” papar Anthony. Artinya, investor masih boleh memberi porsi cukup besar pada saham-saham sektor konstruksi.

Ada beberapa faktor yang membuat prospek sektor ini masih oke. Pertama, sejumlah proyek infrastruktur besar bakal mulai berjalan akhir tahun ini dan tahun depan. Salah satunya, proyek mass rapid transit (MRT) di Jakarta.

Kedua, pemberlakuan undang-undang (UU) pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Badan Pertanahan Nasional memastikan UU No 2/2012 ini dipastikan akan mulai berlaku efektif tahun depan. Hal ini akan mempercepat proses akuisisi lahan untuk proyek-proyek infrastruktur.

Ketiga, pemerintah sendiri sudah siap menganggarkan dana dalam jumlah besar untuk memperlancar proyek-proyek infrastruktur. Pemerintah menetapkan belanja modal infrastruktur untuk 2013 mencapai Rp 193,8 triliun. “Ini akan meningkatkan order book perusahaan,” tandas Anthony.

Keempat, emiten infrastruktur sendiri mulai berusaha memperbesar porsi recurring income atawa pendapatan berulang mereka. Dengan demikian, mereka bisa menjaga margin laba tanpa harus terlalu bergantung pada perolehan proyek.

Bagaimana prospek investasi di masing-masing saham emiten konstruksi? Berikut KONTAN menyajikan pendapat analis atas saham konstruksi pilihan.

WIKA

Para analis menilai, Wijaya Karya termasuk emiten konstruksi yang sukses melakukan diversifikasi usaha. “Saat emiten konstruksi lain baru mulai melakukan diversifikasi, WIKA sudah berhasil menjalaninya dengan baik,” papar Anthony.

Wijaya Karya memang memiliki diversifikasi bisnis cukup banyak. Perusahaan konstruksi ini juga masuk di bisnis produksi beton. Selain itu, perusahaan pelat merah ini juga agresif mengembangkan proyek pembangkit listrik. Analis Samuel Sekuritas Indonesia Adrianus Bias mencatat, kini, Wijaya Karya sudah mengoperasikan dua pembangkit listrik, yakni di Bali dan Borang, Sumatra.

Bahkan, kontribusi pendapatan dari bisnis non-konstruksi cukup besar. Bisnis produk beton dan realty menyumbang pendapatan sebesar Rp 1,21 triliun, setara 30,14% dari total pendapatan di semester satu 2012. Sementara bisnis mekanikal-elektrikal menyumbang pendapatan Rp 1,43 triliun, dari total pendapatan Rp 4,02 triliun.

Analis optimistis, kinerja Wijaya Karya akan tetap kinclong. Apalagi, emiten ini berpeluang memperoleh proyek besar. Lewat konsorsium dengan perusahaan Jepang, Obayashi, Wijaya Karya menjadi salah satu nominasi pemenang tender pembangunan terowongan bawah tanah untuk proyek MRT.

Proyek terowongan ini merupakan bagian dari tahap pertama MRT, yakni rute Lebak Bulus-Bundaran HI. Panjang proyek ini 15,1 kilometer.

Total nilai proyek tersebut mencapai Rp 4 triliun-Rp 4,5 triliun. Wijaya Karya mengikuti tender untuk dua paket dari tiga paket yang ada. Rencananya proyek mulai berjalan di awal 2013 hingga akhir 2016.

Hanya saja, meski kelak Wijaya Karya memenangi tender tersebut, bukan berarti proyek bakal berlangsung lancar. Reza Nugraha, analis MNC Securities, menilai, bila pengerjaan berjalan terlalu lama, sementara proyek sudah digembar-gemborkan, itu akan membuat proses pembebasan lahan lebih sulit, lantaran harga bisa melonjak.

Karena itu, Reza mengingatkan, pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pemilik proyek harus bisa memberikan jaminan proyek ini bakal berjalan, terutama menyangkut proses pembebasan lahan.

Meski prospek saham WIKA positif, Adrianus menilai, valuasi saham ini sudah sangat mahal. Di harga Rp 1.500 per saham, price to earning ratio (PER) saham ini sudah mencapai 18,5 kali. “Dalam lima tahun terakhir, rata-rata PER WIKA cuma 10 kali,” kata Adrianus.

Ia menilai, harga wajar saham WIKA tahun ini cuma Rp 1.200 per saham, setara dengan PER 15 kali. Karena itu, ia merekomendasikan tahan untuk saham Wijaya Karya.

ADHI

Mungkin, PT Adhi Karya Tbk adalah perusahaan yang paling girang mendengar kemungkinan berlanjutnya proyek monorel yang sudah lama mangkrak. Maklumlah, perusahaan pelat merah ini sudah sempat menggelontorkan dana sekitar Rp 150 miliar dalam proyek ini.

Pemerintah DKI Jakarta sendiri secara resmi menghentikan proyek monorel tahun lalu. Reza bilang, berhentinya proyek ini membuat arus kas Adhi terganggu. Karena itu, berlanjutnya proyek monorel akan jadi sentimen positif bagi Adhi.

Meski begitu, Reza juga menilai, tidak akan mudah bagi Adhi untuk mewujudkan proyek ini. Pasalnya, posisi kas emiten yang menjajakan sahamnya di bursa dengan kode ADHI ini terbilang seret, paling tidak sejak dua tahun terakhir.

Adrianus mencatat, posisi kas perseroan ini per Juni 2012 cuma sekitar Rp 300 miliar. Jumlah ini jelas sulit untuk menutupi kebutuhan pendanaan proyek monorel yang nilainya mencapai triliunan rupiah ini.

Sementara, posisi debt to equity ratio (DER) Adhi sudah mencapai 4,5 kali. Bandingkan dengan DER WIKA yang cuma sekitar 2 kali. “Kalaupun proyek monorel diteruskan, Adhi harus bergabung dengan investor dari luar, dan itu akan butuh waktu lama,” kata Adrianus.

Padahal, perusahaan infrastruktur sangat bergantung pada kas. Keberhasilan mendapatkan proyek, biasanya, juga ditentukan kemampuan perusahaan menyediakan investasi awal. “Investasi awal ini biasanya sekitar 15%-20% dari nilai proyek,” kata Reza.

Ditambah lagi, untuk proyek pemerintah, perusahaan biasanya akan menerima 30%-50% pembayaran saat proyek sudah berjalan sekitar 30%. Setelah proyek rampung, perusahaan cuma akan menerima pembayaran 80%. Sisanya baru akan dibayarkan penuh setelah proyek tersebut lolos masa ujicoba, yang berlangsung 3-6 bulan.

Meski begitu, pihak Adhi sendiri optimistis sanggup mengerjakan proyek tersebut. Manajemen Adhi menuturkan, pihaknya akan mencari pendanaan dari bank-bank BUMD.

Toh, analis optimistis, kinerja Adhi bakal oke. Adrianus memprediksi, BUMN ini mampu meraup laba bersih Rp 199 miliar tahun ini. Sepanjang 2011 lalu, Adhi berhasil mencetak laba bersih Rp 182,69 miliar.

Adrianus juga memasang rekomendasi tahan untuk Adhi, dengan target harga Rp 900 per saham. Target ini mencerminkan PER 2012 di 10 kali. Sementara, Reza memberi rekomendasi beli dengan target harga sebesar Rp 1.300 per saham.

PTPP

PT PP Tbk memang kalah dalam tender pembangunan jalur bawah tanah MRT. Meski begitu, perusahaan pelat merah ini sukses menjaring proyek besar lain.

Pertengahan September lalu, PP sukses memperoleh kontrak pembangunan pelabuhan New Tanjung Priok alias terminal Kalibaru. Nilai total kontrak proyek ini mencapai Rp 8,2 triliun dan mulai jalan tahun ini.

Dengan megaproyek ini, PT PP sukses mencatatkan kontrak baru Rp 14,1 triliun hingga pertengahan September. Jumlah ini setara 83,9% dari total nilai target kontrak baru 2012 sebesar Rp 16,8 triliun.

Untuk mendanai proyek-proyeknya, PT PP menerbitkan medium term notes (MTN). Paling anyar, perseroan ini menerbitkan MTN Rp 250 miliar bertenor 24 bulan, yang jatuh tempo 28 September 2014.

Reza menilai penerbitan MTN merupakan strategi jitu untuk meraih pendanaan jangka pendek guna memenuhi kebutuhan investasi awal proyek. Meski emiten harus menanggung beban bunga, menerbitkan MTN jelas lebih cepat dan praktis ketimbang alternatif pendanaan lain, misal rights issue.

Kinerja PT PP juga masih oke. Di semester satu lalu, perseroan ini membukukan pendapatan Rp 2,03 triliun dengan laba bersih Rp 64,86 miliar. Analis Trimegah Securities, dalam risetnya, menuturkan, realisasi laba bersih tersebut setara 22,3% dari prediksi total laba bersih di tahun 2012. “Secara historis, realisasi laba bersih di semester satu sekitar 19% dari target,” tulis dia.

Michele optimistis, PT PP bisa mencapai target kinerja di 2012. Apalagi, biasanya, realisasi proyek pemerintah mulai berjalan di semester kedua. Biasanya, pendapatan di kuartal empat bisa mencapai 50% total pendapatan di tahun tersebut.
Karena itu, Michele memberi rekomendasi beli untuk PT PP. Ia mematok target harga di level Rp 800 per saham.

TOTL

Bulan lalu, Total meraih proyek pembangunan Kedutaan Besar Australia senilai AU$ 230 juta, atau setara Rp 2,29 triliun. Kompleks kedutaan ini akan berdiri di atas lahan seluas 40.500 m2 di kawasan Kuningan, Jakarta. Pengerjaan proyek diperkirakan akan berlangsung tiga tahun.

Kesuksesan Total menjaring proyek tersebut membuat emiten ini sukses menembus target kontrak baru di 2012, yang dipatok sebesar Rp 1,8 triliun. Per September lalu, kontrak baru Total sudah menembus angka Rp 3,5 triliun.

Reza menilai, strategi Total berfokus pada pembangunan gedung membuat kinerja emiten ini positif. Ia mencatat, margin laba operasi Total bisa mencapai 18%. Padahal, pesaingannya, seperti ADHI cuma meraih margin laba usaha 5,7% dan WIKA 7,8%. “Return on equity (ROE) Total bisa sampai 30%, sementara industri hanya 20%-25%,” ujar Reza.

Kondisi itu lantaran risiko dan waktu pembangunan gedung jauh lebih terukur ketimbang proyek infrastruktur. Faktor penghambat pelaksanaan proyek juga tidak sebanyak faktor penghambat pelaksanaan proyek infrastruktur.

Selain itu, Anthony menuturkan, keunggulan Total lainnya adalah emiten ini memiliki posisi kas yang kuat. Per 30 Juni, pos kas dan setara kas Total mencapai Rp 534,37 miliar. Jumlah tersebut sudah setara 81% dari posisi kas Total sepanjang 2011 lalu.

Anthony memasang rekomendasi beli untuk TOTL dengan target harga Rp 710 per saham. Sedangkan Reza memasang target harga Rp 900, yang mencerminkan PER 14,5 kali.

Nah, Anda mau membangun laba di saham yang mana?

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 02 - XVII, 2012 Saham

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×