Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tanda-tanda berhentinya tekanan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) belum terlihat. Rabu (4/2), IHSG memang melompat 1,77% ke level 5.733. Tapi, indeks masih menyisakan defisit 0,93% sejak awal pekan ini.
Ada mazhab populer yang mengatakan, turunnya indeks justru peluang untuk memborong saham. Sebab, harganya sedang murah.
Lantas, apa mazhab itu masih relevan dalam kondisi seperti sekarang? Terlebih, tak sedikit investor ritel yang dananya terbatas. Atau, justru sekarang situasinya cash is the king? "Cash is the king itu kalau big crash, sekarang tidak ada indikasi pasar akan crash," jelas investor saham, Sem Susilo kepada KONTAN, Rabu (4/7).
Fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Sejumlah komponen perekonomian global juga masih dalam kondisi yang wajar. Jadi, penurunan saat ini hanya bersifat situasional akibat tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Sehingga, logikanya situasi seperti saat ini hanya bersifat sementara. Sebab, kalau perang dagang dua negara itu berlangsung, ekonomi mereka sendiri yang bakal rusak. Apakah dua negara kiblat perekonomian itu mau perekonomiannya hancur?
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Sem masih memegang mazhab saatnya borong saham ketika IHSG jatuh. Tapi, tetap pakai aturan.
Sisihkan 50% modal investasi yang dimiliki untuk belanja awal. Sisa 50% modal digunakan untuk cadangan.
"Sisa 50% digunakan untuk cadangan satu kali average down kalau harga sudah turun 20% dari modal. Kalau mengakumulasi saham sehat yang dibuang karena panik, rasio cadangan satu kali average down sudah cukup, karena saham sehat di harga dasar tentu sulit turun 20%," tutur Sem.
Cadangan modal itu bisa dimanfaatkan untuk trading cepat harian mengikuti momentum pasar. Menurut Sem, itu investasi yang sehat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News