Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam sepekan terakhir, nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Hal ini lantaran pengaruh ekpektasi pasar terhadap Federal Reserve (The Fed) yang bakal melangsungkan rapat kebijakan di pekan depan.
Pada penutupan perdagangan Jumat (16/9), kurs rupiah Jisdor melemah 0,27% ke level Rp 14.939 per dolar AS, dan dalam sepekan melemah 0,62%. Senada, kurs rupiah di pasar spot juga ditutup melemah 0,38% ke level Rp 14.955 per dolar AS. Dalam sepekan, rupiah spot melemah 0,84%.
Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf menilai, faktor yang memicu pelemahan rupiah utamanya berasal dari faktor eksternal. Pasar berekspektasi The Fed bakal mengambil langkah agresif guna menurunkan angka inflasi di Amerika.
Baca Juga: Tak Berdaya, Rupiah Jisdor Melemah ke Rp 14.939 Per Dolar AS Pada Jumat (16/9)
Ekspektasi kenaikan suku bunga the Fed sebetulnya memang sempat surut karena pasar memperkirakan angka Indeks Harga Konsumen (CPI) Amerika bakal menunjukkan hasil positif.
Tapi kenyataannya, justru data yang dirilis menunjukkan lebih tinggi dari ekspektasi, sehingga menjadi kekhawatiran kenaikan suku bunga The Fed.
“Data CPI Amerika Serikat semakin menegaskan pandangan pasar bahwa The Fed setidaknya akan menaikkan suku bunga menjadi 75 basis poin. Ini akan menjadi kenaikan dalam tiga pertemuan secara beruntun,” jelas Alwi saat dihubungi Kontan.co.id, Jumat (16/9).
Alwi menambahkan, agresivitas Bank Sentral Amerika Serikat tersebut untuk memerangi inflasi berpotensi besar menghasilkan kebijakan suku bunga. Ketika suku bunga naik maka akan mempengaruhi inversi imbal hasil (yield) AS yang menciptakan kondisi outflow.
Dengan kenaikan yield maka spread antara imbal hasil dalam negeri dengan imbal hasil AS semakin mendekat. Sehingga biasanya emerging market itu diburu investor.
Sementara dari faktor internal, belum mampu mengangkat harga rupiah terhadap dolar. Padahal sebenarnya data neraca perdagangan dalam negeri menunjukkan surplus dan melebih ekpektasi pasar.
Alwi bilang, neraca perdagangan pada Agustus dibandingkan bulan sebelumnya tercipta surplus sebesar US$ 4,22 miliar. Angka ini melebihi ekspektasi US$ 4,7 miliar dengan realisasi ekspor naik 30%, serta impor baik 32,81%.
“Capaian ini seharusnya menjadi sentimen positif untuk rupiah. Tapi nyatanya tidak mampu mengangkat rupiah. Sentimen eksternal semakin kuat. Belum lagi ada pernyataan proyeksi dari Intenational Monetary Fund (IMF) terkait pandangan suram prospek ekonomi global,” jelas Alwi.
Ekonom Senior Samuel Sekuritas Fikri C Permana menambahkan, ekpektasi pasar terhadap potensi kenaikan suku bunga The Fed telah menekan rupiah. Dalam sepekan ini, Fikri menganalisis, rupiah baru mengalami penurunan pada Rabu malam. Dimana posisi sebelumnya masih kuat terhadap dolar AS.
Baca Juga: Tersungkur, Rupiah Spot Ditutup Melemah ke Rp 14.955 Per Dolar AS Hari Ini (16/9)
“Pada saat risk on, saya kira ini yang bikin US indeks naik pada Rabu hingga berlanjut saat ini. Kondisi inii membuat rupiah tertekan,” ungkap Fikri.
Fikri menyebutkan, secara fundamental dengan neraca dagang yang positif harapannya ke depan rupiah bakal menguat. Namun hal tersebut bergantung pada keputusan rapat The Fed dan Bank Indonesia (BI) satu hari setelahnya terkait penyesuaian suku bunga acuan.
Alwi bilang, apabila keputusan The Fed menaikkan suku bunga maka akan menjadi pendorong penguatan dolar. Selanjutnya, jika BI masih menahan suku bunga maka akan terciptanya kondisi hawkish The Fed dan kondisi Dovish BI. Hal ini kemungkinan bakal memukul rupiah untuk kedepannya dari sisi kebijakan moneter.
Meski sulit, namun keduanya memprediksikan rupiah pekan depan bakal bergerak cenderung melemah karena diramal bakal terjadi volatilitas tinggi.
Alwi menilai rupiah baka bergerak pada rentang support Rp 14.900 - resistance Rp 15.030 per dolar AS. Sedangkan, Fikri menganalisis rupiah bergerak antara Rp 14.800- Rp 15.100 per dolar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News