Reporter: Dimas Andi, Grace Olivia | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah bergerak makin liar. Kemarin, kurs rupiah kembali mencetak rekor level terendahnya baru di tahun ini. Bahkan, di akhir pekan ini (20/7), kurs spot rupiah sempat diperdagangkan di Rp 14.545 per dollar Amerika Serikat (AS), per pukul 11.18 WIB. Ini merupakan level terendah rupiah sejak Oktober 2015.
Kepala Ekonom Maybank Indonesia Juniman menjelaskan, kejatuhan rupiah terjadi lantaran yuan melemah. Per pukul 18.00 WIB kemarin, USD/CNY berada level 6,7912, yang merupakan level terendahnya sejak Juli 2017.
Melemahnya yuan membuat mata uang emerging market ikut terseret. "Jadi tidak hanya rupiah, tapi juga mata uang lainnya kompak melemah," kata Juniman, Jumat (20/7).
Pelemahan kurs yuan tak lepas dari konflik dagang antara China dan AS, yang masih bergulir sampai saat ini. Pemerintah China disinyalir memang sengaja melemahkan mata uangnya sebagai bentuk pembalasan atas pemberlakuan tarif impor oleh AS pada barang-barang asal Negeri Tirai Bambu tersebut.
Juniman menilai pemerintah dan BI harus mulai mencermati kondisi ini. "Trade war berpotensi menjadi currency war, alias negara-negara berlomba melemahkan mata uangnya. Kondisi ini bisa membuat rupiah semakin terpuruk," kata dia.
BI memang sudah menyiapkan instrumen baru untuk menahan pelemahan rupiah, seperti SBI dan Indonia. Namun, efeknya terhadap rupiah masih belum terlihat.
Senada, Ekonom BCA David Sumual juga melihat, arah pergerakan rupiah ke depan akan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar eskalasi perang dagang, terutama reaksi China terhadap kebijakan-kebijakan AS. "Ingat, China punya cadangan devisa yang besar sehingga mudah bagi mereka mengontrol nilai mata uangnya," tutur dia.
Sentimen The Fed
Pelemahan rupiah diperkirakan akan terjadi sepanjang kuartal tiga ini. Juniman bilang, ada tiga faktor utama yang bakal menekan rupiah.
Pertama, sikap pelaku pasar yang masih wait and see terhadap kondisi politik dalam negeri jelang Pemilu tahun depan. "Pasar menanti tanggal 10 Agustus, di mana calon presiden dan wakil presiden yang akan maju dalam Pemilu ditetapkan. Sampai saat itu, investor cenderung memilih memegang dollar AS ketimbang rupiah," tutur dia.
Kedua, ketidakpastian akibat perang dagang yang masih bergulir. Ketiga, pertemuan Federal Open Market Committee pada September mendatang. "Tekanan muncul bukan karena pelaku pasar punya ekspektasi suku bunga AS naik tahun ini, tapi karena pasar mewaspadai arah kebijakan The Fed di 2019," kata Juniman.
Jangan lupa juga, di kuartal tiga ini, sejumlah emiten masih akan gencar melakukan pembayaran dividen. Alhasil, kebutuhan dollar AS akan kembali bertambah tinggi.
Head of Economic & Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menambahkan, pemerintah dan BI harus lebih cermat melihat trigger dan dampak pelemahan rupiah, supaya langkah intervensi yang dilakukan tepat. "Kalau tidak, pemerintah hanya akan jadi seperti membuang garam di laut," sebut dia.
Enrico memprediksi rupiah di akhir tahun bisa menembus Rp 14.700 per dollar AS. Serupa Juniman memprediksi mata uang Garuda berpotensi melemah dan bergerak di kisaran Rp 14.200–Rp 14.700.
Analis Monex Investindo Futures Faisyal bahkan lebih pesimistis. Ia melihat, rencana kenaikan suku bunga The Fed dua kali lagi berpotensi membuat rupiah tak mampu kembali ke level Rp 13.000 dan akan berakhir di Rp 15.000 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News