Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Rupiah sedang perkasa. Sepekan terakhir, rupiah menanjak 0,43%. Akhir pekan lalu, kurs mata uang bertengger di level Rp 13.075 per dollar AS. Seiring penguatan rupiah, optimisme datang dari emiten sektor farmasi, yang biaya bahan bakunya banyak menggunakan dollar.
"Penguatan rupiah akan membuat ongkos bahan baku lebih murah dan secara umum industri farmasi lebih positif," ujar Yasser Arafat, Sekretaris Perusahaan PT Indofarma Tbk (INAF) kepada KONTAN, Minggu (13/3).
Tapi penguatan ini belum berpengaruh terhadap kinerja INAF di kuartal I-2016. Maklum, emiten obat pelat merah ini sudah meneken pembelian bahan baku di awal tahun dan menggunakan harga yang sudah disepakati.
Bila penguatan rupiah terus berlangsung sampai akhir tahun, INAF yakin dampak signifikan ke laba bersih. Menurut Yasser, pihaknya berharap level psikologis Rp 12.500. "Di level ini, paparan risiko tak terlalu besar dan daya saing masih terjaga," ujar Yasser.
PT Sentul City Tbk (BKSL) juga akan kena dampak positif. Michael Tene, Hubungan Investor BKSL, mengatakan, jika nilai tukar rupiah bisa stabil di level saat ini, ia memperkirakan, kinerja kuartal I bisa lebih baik.
Hal yang sama terjadi pada PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA). Emiten milik grup Sinarmas ini masih didera rugi kurs yang signifikan tahun lalu. "Penguatan rupiah akan memberikan unrealized forex gain dalam laporan rugi laba DSSA," ujar Hermawan Tarjono, Direktur dan Sekretaris Perusahaan DSSA.
Namun, emiten lebih berharap pada stabilisasi nilai tukar. Menurut Michael, pelemahan atau penguatan rupiah bukan masalah utama. "Yang menjadi kekhawatiran, saat ini rupiah menguat dan tiba-tiba nanti langsung melemah," ujarnya.
BKSL yang memiliki pendapatan dalam rupiah berniat mengonversikan utang dollar AS. Sehingga, tak ada rugi kurs di catatan keuangan.
Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, mengatakan, perusahaan yang banyak mengimpor bahan baku seperti farmasi, konsumer, dan otomotif akan terimbas dampak positif penguatan rupiah.
Hans yakin, dana asing masih tetap tinggal di dalam negeri dalam satu hingga dua tahun ke depan. Membaiknya ekonomi dan tingginya suku bunga riil di Indonesia masih menjadi daya tarik asing. Menurut Hans, di jangka pendek rupiah bisa menguji Rp 12.800 per dollar AS.
David Sutyanto, Analis First Asia Capital, mengatakan, jika pada kuartal pertama rupiah bisa stabil di Rp 13.000, emiten akan terangkat oleh laba kurs. Emiten yang akan diuntungkan misalnya LPKR, ASRI, dan ASII. "Kami berharap stabilitas kurs bisa terjaga," ujar David.
Maklum, penguatan rupiah yang sangat tinggi juga menyulitkan emiten. Pasalnya, masih ada ancaman kondisi ekonomi global. "Emiten akan sulit ekspansi jika rupiah volatil, penguatan dan pelemahannya dalam," imbuh David.
Ia menilai, level Rp 12.500- Rp 13.000 per dollar masih bisa tercapai tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News