Reporter: Barratut Taqiyyah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
KUALA LUMPUR. Nilai tukar mata uang Malaysia melemah hingga ke level 3,91 per dollar AS pada hari ini (7/8). Ini merupakan level terendah baru dalam 17 tahun terakhir.
Kondisi pasar saham Malaysia juga tak jauh berbeda. Aksi jual saham semakin tinggi di tengah prospek perlambatan ekonomi Negeri Jiran itu. Bursa Malayia ikut tertekan di mana FTSE Bursa Malaysia KL Composite Index anjlok 1,8% atau 30,9 poin menjadi 1.694,64. Faktor-faktor tersebut yang menjadi sentimen negatif bagi investor.
Faktor lainnya adalah penurunan harga minyak jenis Brent, harga acuan bagi produk petroleum Malaysia, kembali ke bawah level US$ 50 sebarel. Tingkat ketidakpastian semakin tinggi seiring anjloknya harga crude palm oil (CPO) mendekati level 2.000 ringgit (US$ 511,80) per ton.
Dua komoditas tersebut merupakan komoditas ekspor utama setelah listrik dan produk elektronik.
Selain posisi ringgit yang melemah, total penurunan tingkat ekspor mencapai 3,7% pada kuartal dua. Sebagai perbandingan, penurunan ekspor di kuartal satu sebesar 2,5%.
Menurut analis, lemahnya tingkat permintaan eksternal dan perlambatan konsumsi domestik menyebabkan roda perekonomian berjalan lambat.
Citi Research, unit Citigroup Global Markets Inc, memproyeksikan, ekspansi perekonomian Malaysia akan melambat menjadi 4% pada kuartal kedua yang berakhir 30 Juni dari 5,6% yang dicapai pada kuartal pertama.
"Dengan melambatnya perekonomian, kami ragu Bank Negara (bank sentral) akan menaikkan suku bunga untuk mempertahankan ringgit," jelas ekonom Wei Zheng Kit.
Pada Juli lalu, Bank Negara menahan suku bunga acuannya di level 3,25%. Kenaikan suku bunga terakhir kali terjadi pada Juli 2014.
Saat ini, ringgit masih menjadi mata uang Asia dengan performa terburuk (year to date).
"Kami cukup bearish dengan pergerakan sejumlah mata uang Asia, karena pertumbuhan domestik dan ekspor yang mengecewakan," jelas tim ekonom ABN AMRO. (The Star)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News