Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri farmasi menjadi salah satu sektor yang paling rentan di tengah fluktuasi nilai tukar rupiah yang cenderung melemah ke area Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS).
Setelah sempat memerah, pergerakan saham emiten farmasi pun ditutup bervariasi pada Kamis (7/7). Mayoritas emiten di lingkup farmasi dan riset kesehatan tidak bergerak pada hari ini. Seperti yang terjadi pada PT Indofarma Tbk (INAF) yang harga sahamnya tetap berada di posisi Rp 970.
Kemudian PT Phapros Tbk (PEHA) yang harganya tetap di Rp 940, lalu ada PT Pyidam Farma Tbk (PYFA) di harga Rp 1.030, PT Soho Global Health Tbk (SOHO) pada Rp 5.900, dan PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC) di harga Rp 1.380.
Sedangkan saham yang ditutup melemah pada hari ini adalah PT Darya-Varia Laboratoria Tbk (DVLA) yang turun 2,29% ke Rp 2.560 dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) yang merosot 0,30% ke Rp 1.680.
Baca Juga: Masih Fase Konsolidasi, Begini Rekomendasi Saham Bumi Resources (BUMI)
Sementara itu, saham yang mengalami kenaikan adalah PT Kimia Farma Tbk (KAEF) yang naik 1,60% ke Rp 1.270, PT Merck Tbk (MERK) naik 1,23% ke Rp 4.100 dan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) yang menguat 0,51% ke Rp 985.
Technical Analyst Binaartha Sekuritas Ivan Rosanova memandang sejumlah emiten farmasi sedang menunjukkan tren penurunan jangka panjang, seperti yang terjadi pada INAF dan KAEF. Adapun, harga saham INAF sudah merosot 56,50% secara year to date, sedangkan KAEF turun 47,74%.
Secara umum, sektor farmasi masih bergantung pada bahan baku yang diimpor. Pelaku pasar tampak melakukan antisipasi dengan kecenderungan mengurangi posisi pada saham farmasi, sehingga terjadi pelemahan pada harga sahamnya.
"Juga karena sentimen pandemi sudah cukup mereda meskipun kasus Covid-19 sempat meningkat. Saat ini mungkin akan minim sentimen yang mampu mengangkat kembali saham farmasi seperti di awal pandemi Covid-19," kata Ivan kepada Kontan.co.id, Kamis (7/7).
Senior Technical Analyst Henan Putihrai Sekuritas Liza Camelia Suryanata menambahkan, pelemahan kurs rupiah akan sangat sensitif bagi emiten farmasi yang lebih dari 50% bahan bakunya masih tergantung dari impor.
Baca Juga: Dibayangi Kenaikan Suku Bunga, Begini Rekomendasi Saham Emiten Properti dari Analis
Namun, Liza melihat ada sentimen lain yang bisa menjadi katalis positif bagi saham emiten farmasi. Terutama datang dari kesadaran masyarakat yang lebih tinggi terhadap produk farmasi, meski belum ada data tingkat fatality yang signifikan dari lonjakan kasus Covid-19 belakangan ini.
"Masyarakat sudah mulai terdidik untuk meningkatkan imun tubuh dengan mengkonsumsi vitamin atau suplemen dan obat-obatan terkait," kata Liza.
Meski begitu, jika sebagai pilihan trading, Liza memberikan catatan bahwa mayoritas saham sektor farmasi kurang likuid dan kurang aktif. Oleh sebab itu, mesti cermat dalam memilih saham farmasi.