Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi PT Vale Indonesia Tbk (INCO) bakal kembali ke jalur normal. Pasalnya, INCO akan membangun kembali tungku elektrik yang sempat tertunda.
Apalagi sejak kuartal IV tahun 2020, produksi INCO terus menurun karena serangkaian perawatan yang terencana dan tidak terencana. Selain itu tungku #4 milik INCO ini tertua di industri. Tak heran jika INCO perlu membangun kembali agar lebih efisien dan hasil produksinya lebih maksimal.
Perawatan tungku sudah dimulai sejak Desember 2021. Harapannya pembangunan kembali tungku akan selesai dan siap beroperasi pada kuartal II tahun ini. "Kami berharap produksi INCO secara kuartalan akan kembali normal pada semester II tahun ini sehingga secara rata-rata produksi nikel matte 17.800 ton," jelas Timothy Wijaya analias Bahana Sekuritas dalam riset 24 Mei 2022. Sedangkan tingkat pertumbuhan produksi tahunan majemuk alias compounded annual growth rate (CAGR) pada tahun 2022-2024 di 8,7%.
Baca Juga: Kinerja Emiten Logam Makin Terang
Timothy menjelaskan, proyek INCO yang menarik ke depan salah satunya adalah pengembangan High-Pressure Acid Leaching (HPAL) yang bekerjasama dengan Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited di Pomalaa.
INCO diatur untuk mengakuisisi 30% saham dalam proyek yang akan menghasilkan 120ktpa PLTMH di 2025. Selanjutnya, kedua belah pihak akan menandatangani perjanjian definitif pada kuartal III tahun 2022. Sementara konstruksi HPAL akan dilakukan pada awal 2023.
Selain itu, INCO sedang mengincar HPAL lainnya untuk proyek di Sorowako. INCO ingin memanfaatkan cadangan bijih limonit dengan kapasitas 60 ktpa.
Hal lain yang menjadi pantauan Timothy dan tim Riset Bahana adalah Final Investment Decision (FID) dengan mitranya Tisco dan Xinhai. Dimana INCO akan akan membangun smelter RKEF 73ktpa di kawasan industri Xinhai, Bahodopi.
Baca Juga: Simak Rekomendasi Saham Vale Indonesia (INCO) Usai Cetak Kinerja Mentereng
FID diharapkan selesai pada Juli 2022 dan konstruksi dimulai awal tahun depan. Waktu yang sama dengan selesainya proyek HPAL yakni pada tahun 2025. Dimana INCO memiliki 49% saham dalam proyek smelter RKEF.
Timothy dalam riset juga menjelaskan jika kinerja INCO akan sensitif pada pergerakan harga nikel. Sebab 100% pendapatan INCO disumbang dari penjualan nikel matte. "INCO adalah emiten yang paling sensitif terhadap perubahan harga nikel di antara rekan-rekannya dimana setiap kenaikan atau penurunan harga nikel sebesar US$ 1.000 per ton akan berimplikasi pada 5%-15% kenaikan dan penurunan pendapatan dan laba bersih," terang dia.
Pada tahun ini, Timothy memperkirakan, harga rata-rata nikel pada tahun ini sebesar US$ 25.000 per ton. Ini artinya akan menaikkan 31,2% pada pendapatan dan 48,8% pada laba bersih. "Namun, kami memproyeksikan pendapatan dan laba bersih akan tumbuh lebih lambat selama tahun 2022-2024 dengan CAGR sebesar 3,1%/-7,1%," tulis dia.
Ini dengan anggapan jika harga nikel akan lebih rendah yakni di US$ 22.500 per ton pada 2023-2024. Namun Bahana Sekuritas masih memberi rekomendasi BELI saham INCO dengan target harga Rp 8.700 per saham dalam 12 bulan ke depan.
Hitungan Bahana Sekuritas pada tahun ini pendapatan dan laba bersih INCO masing-masing akan menjadi US$ 1,25 miliar dan US$ 247 juta. Sedangkan pada tahun depan laba bersih INCO hanya sebesar US$ 211 juta dengan pendapatan US$ 1,29 miliar.
Baca Juga: Laba Bersih Vale Indonesia (INCO) Melesat Dua Kali Lipat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News