Reporter: Rezha Hadyan | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uni Eropa (UE) akan mendeklarasikan aturan teknis atau delegated act terkait renewable energy directive (RED) II pada 1 Februari 2019 mendatang. Deklarasi tersebut menunjukkan kesiapan UE mengimplementasikan RED II yang merupakan kesepakatan mengenai penggunaan bahan bakar ramah lingkungan (biofuel) yang berlaku mulai tahun 2020 mendatang.
Dengan adanya RED II, UE wajib memenuhi 32% dari total kebutuhan energinya melalui sumber yang terbarukan pada 2030. Kemudian sepanjang tahun 2020-2030, negara – negara UE akan membuat kategorisasi tanaman pangan dengan risiko tinggi dan risiko rendah terhadap perubahan fungsi lahan dan deforestasi.
Kategorisasi tersebut dikenal sebagai konsep perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung atau Indirect Land Usage Change (ILUC). Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi, termasuk kelapa sawit kemudian akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati UE.
Hal tersebut tentu akan menjadi sentimen negatif bagi saham emiten kelapa sawit di Tanah Air yang sebagian besar berorientasi ekspor. Pasalnya, UE selama ini menjadi salah satu tujuan ekspor utama minyak kelapa sawit Indonesia. Asal tahu saja, ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke UE pada tahun 2018 tercatat sebesar 4,78 juta ton atau berada di urutan kedua terbesar setelah India sebesar 6,71 juta ton.
Analis Indo Premier Sekuritas Mino menilai penerbitan Declaration Act terkait RED II oleh UE tidak perlu dikhawatirkan lantaran isu penolakan UE terhadap minyak kelapa sawit sudah berlangsung cukup lama. “Sudah tidak terlalu negatif karena sudah mempengaruhi harga sejak lama atau ter-priced in di pasar,” kata dia ketika dihubungi oleh Kontan.co.id pada Selasa (29/1).
Mino bilang secara jangka panjang prospek emiten kelapa sawit Tanah Air masih baik. Apalagi masih ada dukungan dari pemerintah berupa komitmen penerapan program Biodiesel B-20 yang tentunya akan menciptakan permintaan baru. “Dalam jangka panjang, kebutuhannya pasti akan semakin tinggi,” ungkap dia.
Secara khusus ia merekomendasikan beberapa saham emiten kelapa sawit yang layak jadi pilihan untuk investasi jangka panjang, antara lain PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP). “Untuk AALI target harga ada di level Rp 16.000 per saham dan LSIP Rp 1.650 per saham,” ujar Mino.
Senada dengan Mino, Analis Senior Samuel Sekuritas Muhammad Alfatih menilai, saham emiten kelapa sawit Tanah Air masih layak untuk dijadikan pilihan investasi jangka panjang. Pasalnya, pergerakan saham emiten-emiten tersebut masih dipengaruhi oleh sentimen positif jangka panjang berupa komitmen pemerintah menerapkan program Biodiesel B-20 dan rencana pengurangan bea masuk di India sebagai negara importir minyak kelapa sawit terbesar dari Indonesia. “Selama ini sering terjadi ancaman dari Eropa mungkin sifatnya sebagai konsumsi untuk konstituen dalam negeri mereka, tapi tidak ada implementasinya,” kata dia.
Sementara itu Analis Samuel Sekuritas Sharlita Malik dalam risetnya menyebut, saham emiten kelapa sawit di tahun 2019 masih dipengaruhi oleh sejumlah sentimen positif. “Peluang penguatan harga minyak kelapa sawit di kuartal pertama tahun 2019 seiring dengan penurunan bea masuk ke India akan menjadi salah satu sentimen positif,” ungkap dia.
Sebagai informasi, per Januari 2019 Pemerintah India memutuskan menurunkan bea masuk bagi minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dari negara-negara ASEAN termasuk Indonesia sebesar 400 bps menjadi 40% dan refined palm oil sebesar 900 bps menjadi 50%, terkecuali bagi Malaysia yang hanya diturunkan 45%. Penurunan bea masuk ini tentu berpeluang membuat harga minyak kelapa sawit menjadi lebih murah dan meningkatkan permintaan India yang selama ini menjadi importir terbesar minyak kelapa sawit dunia.
Kemudian Sharlita juga menilai implementasi program Biodiesel B-20 berjalan dengan baik. Hal tersebut bisa dilihat dari penyerapan Biodiesel B20 yang mencapai 6 juta kiloliter atau meningkat 76% yoy dan rencana pemerintah menambah dua floating storage di Balikpapan yang diperkirakan berdampak pada realisasi Biodiesel B20 mencapai 96% di kuartal pertama tahun 2019. “Kami estimasikan konsumsi Biodiesel B20 mencapai 6,2 juta kiloliter atau naik 3% yoy. Potensi ini belum memfaktorkan rencana penggunaan green gasoline, green diesel, dan avtur di Indonesia,” papar dia.
Kemudian melemahnya pasokan berpotensi berlanjut hingga tahun 2020 karena pengaruh El Nino yang berpeluang terjadi sekitar 75%-80% di separuh kedua tahun 2019. Melemahnya pasokan tentu akan mengerek harga minyak kelapa sawit.
Lebih lanjut, Sharlita menjelaskan bahwa di tahun 2019, pertumbuhan produksi CPO diproyeksi akan moderat jika dibandingkan dengan 2016 yang tumbuh 10% yoy. Pasokan dari Indonesia dan Malaysia berpeluang melemah 7,6% menjadi 13 juta ton.
Kemudian ketergantungan global akan minyak kelapa sawit cenderung meningkat seiring dengan produksi kedelai yang melambat. Hal itu terlihat dari permintaan China yang menguat pada tahun lalu sebesar 17% dan stabilnya permintaan India.
“Secara historis permintaan minyak kelapa sawit di kuartal pertama sebesar 19 juta ton, menurunnya produksi di tahun 2019 berpeluang menciptakan defisit sebesar 2 juta ton. Namun, kebijakan RED II berpeluang mengurangi permintaan di Eropa yang nantinya akan dikompensasikan dengan meningkatnya permintaan dalam negeri dan kemungkinan dari China,” kata Sharlita.
Terakhir, Sharlita bilang bahwa saham-saham emiten kelapa sawit punya bobot lebih besar atawa overweight di tahun 2019 karena adanya peluang penguatan harga minyak kelapa sawit sebesar 11% yoy ke level RM 2.250 per metrik ton yang didukung oleh peningkatan volume penjualan dengan persentase sama. Saham LSIP didapuk sebagai pilihan teratas atau top pick dengan target harga di level Rp 1.750 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News