kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45907,34   -1,20   -0.13%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Prospek saham menara halo-halo masih bersinar


Jumat, 30 Maret 2012 / 10:55 WIB
Prospek saham menara halo-halo masih bersinar
ILUSTRASI. Jangan lupa dibayar, ini cara bayar UTBK 2021 lewat teller BNI, BRI, Mandiri, & BTN.


Reporter: Harris Hadinata, Tedy Gumilar | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Banyak yang sepakat prospek bisnis telekomunikasi saat ini semakin suram. Para operator telekomunikasi harus mati-matian mengembangkan bisnisnya agar kinerja keuangannya mereka tetap tumbuh. Padahal, mereka terpaksa membanting tarif layanan agar pelanggan tidak beralih ke layanan pesaing.

Sebaliknya, bisnis pendukung telekomunikasi justru masih bisa berkembang pesat. Salah satunya bisnis penyedia menara base transceiver station (BTS). Analis menilai, prospek bisnis menara telekomunikasi masih positif dalam jangka panjang.

Maklumlah, operator telekomunikasi tetap membutuhkan menara BTS untuk menunjang perkembangan teknologi telekomunikasi, misalnya dalam hal layanan data.

Analis Danareksa Sekuritas Chandra S. Pasaribu menuturkan, perkembangan layanan data ini akan menjadi tambang baru bagi pemain di bisnis menara BTS. “Prospek di bisnis data masih besar karena jumlah BTS yang menunjang untuk 3G saja masih sedikit,” ujarnya.

Selain itu, perusahaan operator telekomunikasi tetap membutuhkan menara-menara tersebut untuk menjaga kualitas layanannya. “Perusahaan telekomunikasi membutuhkan menara-menara ini untuk menjaga agar jaringan mereka jadi lebih bagus,” tutur Raditya Christian Artono, analis telekomunikasi Mandiri Sekuritas.

Sebelum ini, kebanyakan perusahaan telekomunikasi memang membangun menara BTS sendiri. Namun, makin sengitnya persaingan di bisnis telekomunikasi memaksa perusahaan-perusahaan telekomunikasi fokus menjalankan bisnis intinya. “Dengan memiliki menara sendiri, perusahaan telekomunikasi juga terbebani dengan biaya perawatan,” jelas Reza Priyambada, Managing Research Indosurya Asset Management.

Lebih menguntungkan akuisisi

Selain itu, investasi membangun menara sendiri cukup besar, yakni rata-rata Rp 1 miliar. Dus, mereka memilih menyewa menara dari perusahaan penyedia menara BTS. Operator telekomunikasi pun memilih melego menara-menara telekomunikasi milik mereka ke perusahaan penyedia menara BTS.

Perusahaan-perusahaan penyedia menara telekomunikasi pun memanfaatkan momen ini untuk mengembangkan bisnisnya. Mengakuisisi menara memang menjadi pilihan pertama perusahaan pengelola menara BTS untuk mengembangkan bisnisnya ketimbang membangun menara sendiri. Setidaknya, ada dua keuntungan yang bisa diperoleh perusahaan penyedia menara BTS dengan melakukan akuisisi.

Pertama, tidak ada waktu konstruksi. Dengan demikian, perusahaan pengelola menara BTS bisa segera memperhitungkan menara tersebut sebagai aset produktif.
Kedua, perusahaan pengelola menara tidak perlu lagi repot-repot mencari penyewa untuk menara yang diakuisisi. Biasanya, menara yang diakuisisi sudah memiliki penyewa sendiri.

Nah, otomatis perusahaan pengelola menara bisa langsung menikmati uang sewa dari penyewa yang sudah ada. Enaknya lagi, biasanya kontrak sewa menara merupakan kontrak jangka panjang. Hal ini membuat pendapatan perusahaan jadi lebih stabil untuk jangka waktu yang lebih panjang.

Lantaran proses akuisisi lebih memikat ketimbang membangun menara baru, persaingan untuk mendapatkan menara-menara tersebut pun cukup ketat. Pemain di bisnis penyewaan menara BTS kerap bersaing ketat di setiap tender penjualan menara.

Tengok saja tender penjualan 2.500 BTS milik PT Indosat Tbk (ISAT) beberapa waktu yang lalu. Dalam tender tersebut, tiga emiten yang berbisnis penyediaan menara BTS bersaing ketat. Tender tersebut akhirnya dimenangkan oleh PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG). Nilai akuisisi tersebut mencapai US$ 406 juta atau sekitar Rp 3,65 triliun. Dengan demikian, total menara milik TBIG akan menjadi 7.368 unit.

Perusahaan penyedia menara yang dimiliki Saratoga Capital tersebut berencana membiayai sebagian besar akuisisi tersebut dengan dana pinjaman. TBIG telah menunjuk lima bank untuk mengatur pinjaman senilai US$ 250 juta.

Bank yang ditunjuk sebagai arranger adalah ANZ Banking Group Ltd, Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Ltd, dan DBS Bank Ltd. Selain itu, TBIG menunjuk Oversea-Chinese Banking Corporation (OCBC) dan United Overseas Bank Ltd (UOB).

TBIG bersama dua emiten penyedia menara BTS lainnya, yakni PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR) dan PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR), juga masih mengikuti tender 8.000 menara milik PT XL Axiata Tbk (EXCL). Nilai penjualan menara BTS milik operator seluler ini diperkirakan mencapai Rp 14 triliun-Rp 15 triliun.

Lantaran prospek bisnis menara telekomunikasi ini masih cerah, para analis sepakat saham perusahaan penyedia menara BTS masih layak masuk dimasukkan dalam portofolio investasi Anda. Tentu saja, Anda tetap harus memperhatikan aspek fundamental dan teknikal saham tersebut.

Nah, untuk membantu Anda dalam memilih, berikut KONTAN merangkum pendapat para analis soal saham emiten penyedia menara BTS.

- SUPR

PT Solusi Tunas Pratama Tbk merupakan emiten penyedia menara BTS paling muda di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham emiten berkode SUPR ini baru mulai diperdagangkan pada Oktober tahun lalu.

Emiten ini 16,7% saham ke pasar seharga Rp 3.400 per saham. Hingga Rabu (21/3), harga saham emiten ini sudah bertengger di Rp 4.900 per saham. Artinya, sejak initial public offering (IPO) pada Oktober 2011 hingga Rabu lalu harga saham ini sudah naik sekitar 44,12%.

Dari IPO, SUPR meraup dana Rp 340 miliar. Sebagian besar dana digunakan untuk pengembangan portofolio menara, baik melalui pembangunan menara baru maupun akuisisi.

Manajemen SUPR memang terbilang gesit dalam melakukan akuisisi menara. Anak usaha PT Kharisma Indah Ekaprima ini terutama menyasar perusahaan-perusahaan tower berskala kecil.

Di pengujung 2011 lalu, SUPR mengumumkan akuisisi 99,87% saham PT Sarana Inti Persada dari tiga pemegang saham sebelumnya. “Perusahaan ini memiliki menara BTS yang tersebar di Jawa Barat,” sebut Reza. Nilai akuisisi perusahaan pengelola menara BTS tersebut mencapai Rp 100,44 miliar.

Kemudian di Februari 2012, SUPR juga mengambil alih sekitar 75% saham PT Platinum Teknologi dari pemegang saham sebelumnya, yakni Tower Technology Pte Ltd. Nilai transaksi ini Rp 110 miliar.

Chandra menilai langkah manajemen SUPR mengakuisisi perusahaan-perusahaan menara berskala kecil tersebut cukup strategis. Pasalnya, ia melihat kapasitas keuangan SUPR dalam membiayai akuisisi memang terbatas. “SUPR dari sisi kapasitas finansial masih di bawah TBIG atau TOWR,” sebut Chandra. Selain itu, persaingan untuk mendapatkan perusahaan-perusahaan menara tersebut tidak terlalu ketat.

Meski begitu, manajemen SUPR menegaskan siap mengembangkan portofolio menara mereka. Selain mengandalkan dana hasil IPO, perusahaan ini juga mengantongi fasilitas pinjaman senilai Rp 1,08 triliun dari empat bank.

Saat ini SUPR memiliki lebih dari 1.100 menara. Sebagian besar menara tersebut berlokasi di Jabodetabek. “Dari sisi pelanggannya, sebagian besar penyewa menara SUPR adalah operator telekomunikasi kecil,” tutur Reza.

Operator yang menjadi penyumbang pendapatan terbesar bagi SUPR adalah PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL). Sampai Oktober 2011, BTEL menyumbang pendapatan pada SUPR sebesar Rp 136,45 miliar, setara 50% dari total pendapatan SUPR di periode tersebut, sebesar Rp 272,46 miliar.

Di periode tersebut, SUPR juga mencatat penurunan laba, dari Rp 73,47 miliar di 2010 menjadi Rp 67,89 miliar di 2011. Emiten ini belum merilis kinerja sepanjang 2011.
Reza menilai, meski secara fundamental bisnis SUPR masih prospektif, pergerakan saham perusahaan ini terbilang stagnan. Volume perdagangan saham ini pun terbilang tipis.

Tambah lagi, Reza menilai, saat ini harga saham SUPR sudah mahal. “Saham ini sudah di atas area overbought,” ujarnya. Karena itu, ia merekomendasikan jual untuk saham ini.

- TOWR

Hingga akhir Desember 2011 lalu, PT Sarana Menara Nusantara Tbk tercatat memiliki 6.363 unit menara. “Dari sisi jumlah menara, TOWR merupakan perusahaan dengan jumlah menara yang terbanyak,” ujar Raditya.

Sepanjang tahun lalu, TOWR juga sukses menggaet sekitar 2.433 penyewa baru, sehingga total penyewa menara perusahaan ini menjadi sekitar 10.798 penyewa. TOWR ini menargetkan bisa menambah portofolio menaranya sebanyak 1.000 - 1.200 unit.

Emiten menara ini sejatinya juga mengikuti tender penjualan 2.500 unit menara ISAT. Hanya saja, perusahaan ini tidak bisa memenangi tender tadi. Chandra menilai, kekalahan TOWR dalam tender tersebut berpotensi menghambat ekspansi TOWR dari sisi jumlah portofolio menara. Namun perseroan ini tetap memiliki kemampuan untuk tumbuh secara organik. “Tahun lalu TOWR bisa membangun sekitar 1.000 unit menara. Tapi, memang, pertumbuhannya tidak akan secepat lewat akuisisi,” cetus dia.

Persaingan yang ketat dalam memperebutkan menara BTS yang bisa diakuisisi ini akan menjadi tantangan bagi perkembangan bisnis TOWR. Apalagi, stok menara yang ditawarkan juga makin terbatas.

Meski begitu, para analis menilai fundamental dan prospek bisnis TOWR ini masih cerah. Apalagi, kinerja Sarana Menara sepanjang 2011 lalu cukup mengkilap. Per akhir 2011, TOWR berhasil mencetak pendapatan sebesar Rp 1,65 triliun. Jumlah ini tumbuh 21,32% dari pendapatan 2010, senilai Rp 1,36 miliar.

Laba bersih emiten ini bahkan tumbuh lebih dahsyat.

Sepanjang 2011 lalu, laba bersih TOWR mencapai Rp 283,88 miliar. Jumlah ini melonjak hingga 183,8% ketimbang laba bersih sepanjang 2010, yang cuma sebesar Rp 100,01 miliar.

Laba bersih emiten ini bisa meroket, antara lain karena TOWR berhasil mengurangi beban bunganya. Sepanjang 2010, emiten ini menanggung beban bunga Rp 527,45 miliar. Namun tahun lalu, beban bunga tersebut menyusut hingga tinggal sebesar Rp 374,61 miliar.

Bila TOWR bisa menambah jumlah menara sebanyak 1.000-1.200 unit tahun ini, dengan asumsi rasio penyewa per menara tetap di kisaran 1,7 kali, Chandra memprediksi, tahun ini TOWR bisa mencetak laba di kisaran Rp 2 triliun.

Asal tahu saja, saat ini Sarana Menara sudah mengantongi kontrak penyewaan menara senilai US$ 1,7 miliar hingga 2023 nanti. Dengan demikian, setidaknya emiten ini sudah memastikan pendapatan rata-rata sekitar Rp 1,4 triliun setiap tahun, dengan asumsi tidak ada kontrak baru.

Chandra juga menilai, rencana bisnis TOWR tahun ini sudah sejalan dengan rencana bisnis yang disusun oleh operator telekomunikasi. Dus, peluang emiten ini bisa mencapai target bisnis tahun ini lebih besar.

Selain itu, TOWR tidak akan kesulitan mencapai target menambah menara hingga 1.000-1.200 unit tahun ini. Pasalnya, menurut Chandra, sepanjang 2011 lalu, emiten ini berhasil menambah jumlah menara telekomunikasi miliknya hingga hampir 1.300 unit.

Chandra dan analis DBS Vickers Sachin Mittal sama-sama memasang rekomendasi beli untuk saham ini. Mittal mematok target harga saham ini
di level Rp 18.000 per saham.

Hanya, kalau ingin mengoleksi saham ini, Anda harus ingat bahwa saham ini cenderung kurang likuid. Volume perdagangannya pun kecil. Pekan lalu, saham ini hanya diperdagangkan di Rabu (21/3) dengan volume sebesar 7.500 lot.

- TBIG

Sukses memenangkan tender penjualan 2.500 unit menara milik Indosat bakal membuat PT Tower Bersama Infrastructure Tbk menjadi perusahaan penyedia menara BTS dengan jumlah menara terbanyak. Bila akuisisi ini rampung, total jumlah menara TBIG akan mencapai 7.368 menara, dengan jumlah penyewa mencapai lebih dari 10.000 penyewa.

Raditya menilai, akuisisi ini bakal membuat portofolio menara TBIG makin kinclong. Pasalnya, sebagian besar menara yang diakuisisi dari Indosat adalah menara BTS dengan ketinggian antara 51 meter - 65 meter, bahkan beberapa di antaranya melebihi 65 meter.

Menara dengan ketinggian tersebut merupakan menara yang memiliki potensi paling bagus untuk kolokasi alias penempatan banyak penyewa di satu menara. Artinya, peluang TBIG mendapat penyewa juga semakin besar.

Selain itu, 57% menara ISAT tadi terletak di Jawa dan Bali, sementara 37% di Sumatera. Ketiga daerah tersebut merupakan daerah yang tingkat ekonominya sudah maju.

Raditya memperkirakan, pascaakuisisi ini, kontribusi pendapatan TBIG dari tiga besar operator telekomunikasi di Indonesia bakal naik menjadi 70%. Sebelum ini, pendapatan dari tiga besar operator seluler baru sekitar 60% dari total pendapatan TBIG.

Sepanjang 2011 lalu, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) dan Telkomsel masih menjadi penyumbang pendapatan terbesar. Telkom memberi kontribusi pendapatan hingga Rp 322,89 miliar atau 33,29% dari total pendapatan. Sementara, pendapatan dari Telkomsel mencapai Rp 160,11 miliar, setara 16,51% total pendapatan.

Raditya juga menilai, kesuksesan TBIG memenangi tender menara ISAT ini membuka peluang bagi kesepakatan lanjutan antara kedua belah pihak. Asal tahu saja, ISAT masih memiliki sekitar 8.000 unit menara, yang kemungkinan juga akan dilego ke pihak ketiga.

Selain itu, TBIG berpotensi memberi dividen bagi pemegang saham. Dalam hitungan Mandiri Sekuritas, TBIG menawarkan pertumbuhan laba bersih sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) secara organik hingga lebih dari 25% per tahun dalam 4-6 tahun ke depan.

Di tambah pertumbuhan non-organik, TBIG berpotensi menjadi mesin penghasil uang di 2016. Raditya memproyeksikan, saat itu TBIG akan bisa membagi dividen tahunan sekitar Rp 2,25 triliun.

Tahun ini, Mandiri Sekuritas memprediksi TBIG bakal mencetak pendapatan Rp 1,91 triliun, naik dari Rp 970,03 di 2011. Sementara di pos laba bersih, emiten ini berpeluang mengumpulkan fulus senilai Rp 808 miliar, naik dari laba 2011 sebesar Rp 474,36 miliar.

Karena itu Raditya memasang rekomendasi beli untuk saham TBIG. Ia mematok target harga untuk 12 bulan ke depan di Rp 3.850 per saham. Per Rabu (21/3), saham TBIG dihargai Rp 2.975 per saham. Ini adalah harga tertinggi TBIG sejak listing di 2010 silam.

Nah, silakan pilih saham yang cocok buat Anda.



Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×