kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Prospek saham emiten farmasi semakin sehat


Kamis, 31 Maret 2016 / 07:12 WIB
Prospek saham emiten farmasi semakin sehat


Reporter: Andy Dwijayanto | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Prospek emiten sektor farmasi semakin cerah, setelah pemerintah menjanjikan mengguyur insentif kepada industri farmasi nasional. Setidaknya, harga saham dua emiten farmasi, yakni PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dan PT Indofarma Tbk (INAF) melonjak pada transaksi Rabu (30/3).

Harga saham KLBF kemarin melesat 9,30% menjadi Rp 1.410 per saham. Adapun harga saham INAF menyentuh Rp 403 per saham. Itu level tertinggi harga saham INAF sejak emiten tersebut mencatatkan sahamnya (IPO) di Bursa Efek Indonesia, sejak tahun 2001 silam.

Insentif bagi industri farmasi ini merupakan bagian paket kebijakan ekonomi jilid XI yang diumumkan Selasa (29/3) lalu. (baca hal 15) Pemerintah menjanjikan dua hal terkait pengembangan industri farmasi lokal.

Pertama, pemerintah akan memberikan fasilitas bebas bea masuk, tax holiday, tax allowance serta insentif Kawasan Ekonomi Khusus dan Pusat Logistik Berikat bagi industri farmasi dan alat kesehatan.

Kedua, industri bahan baku farmasi akan dibuka tanpa batas bagi investor asing. Berarti, asing boleh menguasai hingga 100% saham produsen bahan baku farmasi. Dengan kebijakan ini, bisnis emiten farmasi diperkirakan semakin bergairah.

Jika terwujud, kebijakan ini bisa mengurangi biaya bahan baku. Selama ini, lebih dari 50% bahan baku farmasi masih impor. Emiten yang paling terdorong oleh paket kebijakan tersebut adalah emiten farmasi BUMN. Ini tentu sejalan dengan program pemerintah.

Reza Priyambada, Kepala Riset NH Korindo Securities mengatakan, paket kebijakan ini perlu segera diimplementasikan demi memaksimalkan dan memudahkan bisnis farmasi.

Prospek emiten farmasi semakin sehat karena pemerintah menunjukkan keberpihakan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di industri farmasi.

Pangkas biaya produksi

Saat ini, Reza menilai, permasalahan industri farmasi masih berkutat pada dua hal besar, yakni biaya impor dan daya beli masyarakat. Dengan kebijakan ini, tentu biaya produksi emiten farmasi lebih rendah dan berimbas je harga jual yang sedikit menurun sehingga berdampak pada peningkatan permintaan.

"Insentif di industri farmasi agar masyarakat dapat mendapatkan obat yang lebih terjangkau, dan ujung-ujungnya BUMN-BUMN farmasi yang paling diuntungkan," ujar dia kepada KONTAN, kemarin.

Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, berpendapat, langkah pemerintah saat ini cukup mendorong emiten farmasi. Dia memperkirakan, emiten farmasi akan diuntungkan, khususnya dalam ongkos produksi.

Terlebih produksi obat generik yang berpotensi meningkat, meski margin keuntungannya masih tipis. Namun Hans melihat implementasi kebijakan tersebut baru terwujud dan efektif dalam beberapa tahun ke depan.

Pasalnya, saat ini lebih dari 50% industri farmasi masih tergantung pada bahan baku impor. Yang terpenting, pemerintah harus memberikan insentif kepada emiten farmasi agar melaksanakan penelitian dan pengembangan, sehingga biaya penemuan obat dapat tertutupi.

Saat ini, emiten farmasi kerap merugi ketika obat penemuannya yang dipatenkan harus dibuat obat generik dan dijual lebih murah. Hans merekomendasikan saham-saham farmasi seperti TSPC, KAEF dan KLBF. Adapun Reza merekomendasikan saham-saham seperti KLBF, INAF dan KAEF.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×