Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Bisnis properti dan konstruksi pada tahun ini melambat. Hal ini tercermin dalam pergerakan harga saham emiten di kedua sektor, yang hanya tumbuh single digit pada tahun ini.
Sejak awal tahun ini hingga kemarin atau year-to-date (ytd), indeks properti, real estate dan konstruksi di Bursa Efek Indonesia hanya tumbuh 8%. Pencapaian ini masih di bawah kinerja indeks finansial yang tumbuh 14% (ytd). Bahkan jauh tertinggal dibandingkan kinerja indeks pertambangan yang sudah melonjak 75% sepanjang tahun ini.
Analis Ciptadana Securities Maula Adini Putri menilai ekonomi yang belum pulih tahun ini menyebabkan performa sektor properti stagnan. Apalagi properti sangat dipengaruhi faktor ekonomi.
"Seharusnya tahun depan mulai pulih, tapi saya tidak terlalu yakin juga," kata Maula, Selasa (13/12).
Maula menilai berbagai hal dari dalam dan luar negeri bakal jadi penyebab utama sektor properti bakalan sulit bangkit tahun depan. Di antaranya pelantikan Donald Trump sebagai Presiden AS dan stabilitas ekonomi dalam negeri pasca pilkada.
Namun dengan ketidakpastian yang cukup tinggi, dia menyatakan saat ini harga saham properti sudah turun cukup rendah. Melambatnya pertumbuhan membuat sejumlah emiten memangkas target kinerja.
Analis Kresna Graha Investama Fahressi Fahalmesta mencontohkan, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) memangkas target kontrak dari semula Rp 25 triliun menjadi Rp 18 triliun. Ini lantaran penerimaan kontrak LRT tertunda.
Hal tersebut membuat perspektif pasar cukup negatif terhadap ADHI. Harga saham sektor properti dan konstruksi juga tertekan aksi korporasi emiten. Misal, rights issue PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan PT PP Tbk (PTPP) akhir tahun ini, yang menekan harga sahamnya.
Selain itu, pasar juga bereaksi negatif pada masalah pembebasan lahan. Insentif pemerintah Bisnis emiten properti dan konstruksi melambat meski pemerintah sudah menabur insentif, seperti kebijakan loan to value (LTV) kredit properti dan hingga program amnesti pajak.
Semestinya kebijakan ini bisa mengerek pendapatan. Maula menilai, kebijakan LTV hanya berpengaruh ke segmen properti menengah bawah. Sedang kebijakan pembelian properti terkait program amnesti pajak belum jelas. Ia menganggap pengaruhnya tidak akan besar.
Untuk kebijakan LTV, Maula menganggap pengembang yang membangun hunian menengah ke bawah lebih terpengaruh. Ia mengakui di kuartal keempat tahun ini ada peningkatan penjualan properti di daerah sub-urban seperti Bekasi.
Tahun depan, Maula merekomendasikan BSDE sebagai saham pilihan di sektor properti dengan target Rp 2.600 per saham. Ia memilih BSDE lantaran memiliki pencapaian bagus, punya banyak proyek rumah tapak yang cenderung lebih diminati dibandingkan produk yang lebih menyasar kelas menengah.
Fahressi juga optimistis melihat prospek emiten konstruksi tahun depan. "Saya prediksi tahun depan akan lebih baik. Apalagi pemerintah melakukan tender lebih awal, alternatif pendanaan proyek seperti sekuritisasi aset, potensi permodalan yang lebih kuat dari dana repatriasi," ungkap Fahressi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News