Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Avanty Nurdiana
JAKARTA. Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga Fasilitas Bank Indonesia (FasBI) 25 basis poin (bps) menjadi 4,25%. Kemarin, BI juga menaikkan suku bunga acuan BI rate 25 bps menjadi 6%.
Kenaikan suku bunga ini bisa menahan laju penyaluran kredit perbankan. Namun, bagi PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), menurut analis, imbasnya tak terlalu besar.
Selain, BBCA terbilang konservatif dalam menggelontorkan kredit, juga bank ini akan merespons kenaikan BI rate dengan mengerek suku bunga kredit. Ini untuk menjaga selisih bunga bersih (net interest margin/NIM) tetap di level yang menguntungkan.
Bila bunga kredit naik, bisa berpotensi mengangkat pula rasio kredit bermasalah alias non performing loan (NPL). Namun, analis Mega Capital Indonesia, Arief Fahruri yakin, BBCA masih dapat menjaga rasio NPL di bawah 1%. "NPL BBCA masih tergolong yang terendah," ujar dia.
Per kuartal I 2013 lalu, tingkat NPL BBCA hanya 0,4%. "Selama ini, BBCA termasuk perbankan yang sangat hati-hati dalam menyalurkan kredit," jelas Arief.
Nah, menurut Arief, justru ini menjadi kekuatan BBCA. Meski pertumbuhan kredit BBCA cenderung konservatif, margin bunga bersih (NIM) BBCA tetap akan tumbuh 5,9%. "BBCA masih ekspansif di kredit pemilikan rumah (KPR) untuk kalangan menengah ke atas. Hal inilah yang masih membuat kinerjanya cukup stabil," imbuh Arief.
Tahun ini, BBCA menargetkan pertumbuhan kredit 20%-22%. Angka ini terbilang lebih kecil dibanding tahun sebelumnya. Hingga Mei 2013, BBCA sudah menggelontorkan kredit baru Rp 8 triliun.
Per akhir Maret, total portofolio kredit BBCA Rp 265 triliun, meningkat 26,7% dibandingkan Maret 2012. Hal ini mendorong rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) BBCA di level 71,1%.
Tjandra Lienandjaja, analis Mandiri Sekuritas pun melihat, kenaikan suku bunga saat ini masih tergolong rendah sehingga masih bisa diantisipasi dengan baik oleh BBCA. "Kalau kenaikannya cukup besar, misal sampai di atas 100 bps, barulah akan berdampak signifikan," kata dia.
Supriyadi, analis OSO Securities mengingatkan, kondisi makro ekonomi tahun ini yang tak menguntungkan akan sedikit menghambat laju saham perbankan. Inflasi yang diperkirakan lebih dari 7% dan sentimen kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi bisa menjadi sentimen negatif bagi BBCA.
Belakangan ini, harga saham BBCA pun terus fluktuatif dan cenderung terkoreksi. "Hal ini lebih disebabkan anomali asumsi makro," kata dia.
Namun secara fundamental, kata Supriyadi, kinerja BBCA masih akan kinclong. Dia menghitung, di akhir tahun ini net profit BCA masih tumbuh 14,5% menjadi Rp 13,4 triliun. Dia yakin NIM BBCA masih terjaga di 6,1%-6,3% dengan pertumbuhan kredit 21%. Sementara Arief memprediksi net profit mencapai Rp 14,8 triliun atau tumbuh 26,4%.
Melihat prospek jangka panjang BBCA yang bagus, Supriyadi masih merekomendasikan buy saham BBCA dengan target harga Rp 11.000.
Tapi, Tjandra dan Arief merekomendasikan hold untuk BBCA. Target harga Tjandra Rp 10.300. Sementara, Arief menargetkan di Rp 9.800 yang mencerminkan price to book value (PBV) 3,98 kali. Kemarin, harga BBCA turun 1,06% ke Rp 9.300 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News