Reporter: Dina Farisah | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Harga minyak sawit mentah kembali terkoreksi. Ekspektasi tentang peningkatan produksi di Indonesia dan Malaysia, dua negara produsen crude palm oil (CPO) terbesar, menggerus banderol harga komoditas itu.
Kontrak pengiriman CPO untuk November 2012, Jumat (7/9), di Bursa Berjangka Malaysia, senilai RM 2.921 per ton, atau melemah 0,91%. Harga CPO telah melandai selama empat hari. Jika dihitung dalam sepekan, CPO telah terpangkas 2,70%.
Menurut survei Bloomberg, persediaan CPO di Malaysia berkisar 2,14 juta ton per akhir Agustus, naik 7% daripada proyeksi di bulan sebelumnya. Panen kedelai di Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan bakal meningkat, bisa menurunkan harga kedelai.
Jika dua situasi itu terjadi bersamaan, tentu banderol harga CPO terancam menyusut. “Minyak sawit sulit untuk mencapai tren bullish saat ini,” ujar Dorab Mistry, Direktur Godrej International Ltd, seperti dikutip Bloomberg.
Pelemahan dollar
Pelemahan harga CPO juga terpengaruh oleh perkembangan penyelesaian krisis utang di zona euro. Hasil pertemuan European Central Bank (ECB), Jumat (7/9), yang memasang syarat ketat untuk pembelian obligasi terbitan negara-negara bermasalah di zona euro, makin menciutkan prospek CPO.
Data ekonomi terbaru AS turut menjungkalkan CPO. Analis Monex Investindo Futures, Ariana Nur Akbar, mengatakan, pasar mengharapkan ada pengucuran stimulus di Negeri Paman Sam.
Indikator teknikal, memperlihatkan CPO belum terlepas dari ancaman pelemahan. Stochastic sudah menyentuh indikator 40. Hal itu bisa diartikan harga CPO berpeluang turun lebih rendah lagi.
Moving average (MA) 60 mengindikasikan celah permukaan yang melebar dan bergerak menurun. Moving average convergence-divergence (MACD) memberikan sinyal bearish.
Namun, Renji Betari, Analis Pasar Fisik Komoditas Soe Gee Futures, menilai, CPO mungkin mengalami kenaikan dalam waktu dekat. Penurunan nilai tukar dollar AS bisa membantu CPO. Jika the greenback melemah, nilai tukar rupee India dan yuan China akan naik. Penguatan valuta dua negara itu, bisa meningkatkan permintaan terhadap CPO. Jangan lupa, India dan China merupakan pengguna terbesar CPO di dunia.
Hal itu bisa terlihat dari volume pengiriman CPO selama delapan bulan terakhir yang menunjukkan kenaikan sebesar 25%. Menurut dia, kontraksi tidak terjadi di permintaan, melainkan pada nilai tukar negara importir.
Renji menilai, harga CPO tertinggal cukup jauh dari komoditas lain selama tiga bulan terakhir. Ia membandingkan CPO dengan komoditas pertanian, seperti kedelai, jagung dan gandum. Dalam tiga bulan terakhir, ketiga komoditas tersebut sudah rally hingga 50%. Dia pun memprediksi harga CPO masih memiliki ruang penguatan 15% dalam tiga bulan ke depan.
Hitungan Ariana, dalam sepekan ke depan, CPO akan berada antara RM 2.962 hingga RM 3.035 per ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News