Reporter: Namira Daufina | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Harga minyak mentah WTI kembali terpuruk. Tingginya pasokan dari negara anggota OPEC dan Amerika Serikat (AS) membuat peluang harga minyak naik lagi mulai tertutup.
Mengutip Bloomberg, Selasa (13/9) pukul 17.13 WIB kontrak harga minyak mentah WTI pengiriman Oktober 2016 di New York Mercantile Exchange anjlok 2,35% menjadi US$ 45,20 per barel. Padahal, sepekan terakhir harga si emas hitam ini masih berhasil merambat naik 0,82%.
Analis PT Finex Berjangka Nanang Wahyudin mengatakan, koreksi yang terjadi saat ini akibat aksi ambil untung. Mengingat di awal pekan, harga minyak sempat menanjak. Namun, kenaikan produksi yang terjadi pada sebagian besar produsen minyak memang patut diperhatikan.
Lihat saja pasokan minyak mentah AS yang berada di level 511,4 juta barel atau 100 juta barel lebih tinggi dari pasokan rata-rata lima tahunan. Lalu kenaikan produksi juga dicatatkan oleh OPEC.
International Energy Agency (IEA) merilis produksi OPEC pada Agustus 2016 naik menjadi 33,47 juta barel per hari dibanding Juli 2016 yang 33,45 juta barel per hari. Kenaikan itu berasal dari produksi Arab Saudi yang naik menjadi 10,6 juta barel per hari, Iran 3,6 juta barel per hari serta Uni Emirat Arab sebesar 3,07 juta barel per hari.
“Kenaikan produksi jelas menjadi indikasi negatif bagi harga minyak, apalagi pada saat bersamaan, permintaan dari China terlihat mengering,” tutur Nanang.
Diprediksi, permintaan minyak dari Negeri Tembok Besar pada Agustus 2016 turun 2,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Tunggu output freeze
Proyeksi IEA, pasar global masih akan dibanjiri oleh pasokan minyak mentah hingga tahun 2017. Menurut analis PT SoeGee Futures Nizar Hilmy, melimpahnya pasokan terjadi setelah para produsen di luar OPEC juga menggenjot produksi akibat harganya yang sempat membaik.
Gejala tersebut tampak dalam laporan Baker Hughes pekan lalu yang menyebut kenaikan jumlah kilang minyak aktif AS, sebanyak 11 unit. Jika ini terus berlangsung, produksi minyak AS akan kembali melicinkan pasar dan menekan harga WTI.
Masa depan harga minyak kembali bergantung hasil pertemuan output freeze antara OPEC dan produsen di luar OPEC. Jika tercapai kesepakatan di antara mereka, ada harapan bagi minyak WTI untuk merangkak ke posisi US$ 50 per barel.
Tapi jika gagal, harganya terpuruk lagi ke US$ 30 per barel. “Tapi kalau untuk jangka pendek selama tidak ada perubahan yang berarti di fundamental harga bisa turun ke level US$ 44 per barel,” analisa Nanang.
Meski demikian, Nizar menduga kesempatan harga bertahan di atas US$ 45 per barel tetap terjaga mengingat posisi USD rawan koreksi akibat sentimen menjelang FOMC.
Dari sisi teknikal, harga minyak telah bergerak di bawah moving average (MA) 25 yang mengindikasikan penurunan bisa berlanjut. Sejalan dengan relative strength index (RSI) level 49 yang mengarah turun. Begitu juga stochastic yang membentuk pola dead cross dengan menurun dari level 59 ke 53.
Hanya saja garis moving average convergence divergence (MACD) di area positif 0,2 yang berpola uptrend sehingga menjaga penurunan lebih terbatas. Alhasil, Nizar menduga hari ini harga minyak WTI bergerak di kisaran US$ 45,00– US$ 47,00 per barel.
Sementara Nanang menebak dalam sepekan harganya ada di antara US$ 44,00–US$ 47,00 per barel.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News