Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Edy Can
AKARTA. Para pelaku pasar derivatif boleh berlega hati. Mahkamah Agung akhirnya mengabulkan permintaan pelaku pasar yang tergabung dalam Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI).
Institusi hukum tertinggi ini membatalkan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa.
Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Deddy Saleh mengatakan, Mahkamah Agung sudah memenangkan tuntutan dari kedua asosiasi. "Yang penting soal pajak itu distop dulu, tidak berlaku," katanya seusai peluncuran Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI), pekan lalu.
Ketua APBI I Gede Raka Tantra mengungkapkan, Mahkamah Agung mengabulkan ketiga tuntutan asosiasi. Ketiga tuntutan itu adalah mengenai besaran pajak, pemungutan pajak transaksi derivatif yang dilakukan oleh lembaga kliring dan penjamin, serta waktu pemberlakuan Peraturan Pemerintah itu.
Dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung ini, APBI akan segera berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pajak. "Kami mau bekerjasama untuk mendiskusikan besaran pajak," kata Gede.
BEI turut senang
Uji materi terhadap Peraturan Pemerintah ini berawal ketika Direktorat Jenderal Pajak menetapkan besaran pajak penghasilan transaksi derivatif sebesar 2,5% dari margin awal. Asosiasi dan para pelaku pasar keberatan dengan aturan ini, karena menganggap pungutan pajak ini terlalu besar.
"Kami menginginkan pajak penghasilan ini sebesar 0,05% untuk pembeli dan 0,05% untuk penjual berupa pajak final," kata Gede. Besaran pajak yang diminta oleh asosiasi ini sama dengan besaran pajak untuk transaksi saham sebesar total 0,1%.
Namun, pemerintah tak menggubris keberatan itu. Pemerintah lantas menetapkan aturan perpajakan ini dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2009 itu pada 9 Februari 2009.
Pihak asosiasi tak kehilangan akal. APBI dan IP2BI lantas melawan dengan mengajukan permohonan uji materi pada 15 Juli 2009 ke Mahkamah Agung. Kedua asosiasi pialang ini berdalih, akibat pengenaan pajak yang cukup besar ini, industri terbebani berat. Selain itu, daya saing bursa berjangka juga makin terdesak karena di bursa luar negeri tidak dipungut pajak.
APBI dan IP2BI lantas meminta pengenaan pajak final, bukan pajak atas margin awal. Alasannya, margin awal merupakan jaminan transaksi yang dapat berupa uang dan surat berharga, sehingga bukan merupakan obyek pajak.
Pembatalan beleid tersebut juga menjadi angin segar bagi Bursa Efek Indonesia. Pasalnya, BEI berkepentingan agar pajak transaksi derivatif ini diturunkan. Maklum, mereka ingin meluncurkan produk derivatif yang bernama Kontrak Opsi Saham.
Rencana ini sudah berlangsung sejak tahun 2008. Namun, realisasinya ditunda sejak ada keputusan soal besaran PPh derivatif yang muncul tahun lalu. BEI akan meninjau kembali peluncuran produk ini setelah ada kepastian atas pajak transaksi derivatif.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News