Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan porsi pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) meningkat dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Porsi pembangkit EBT mencapai 51,6% dalam RUPTL terbaru yang telah disusun. Bahkan, porsi ini meningkat dari prognosa semula yang diperkirakan sebesar 48%. Perusahaan Listrik Negara (PLN) bahkan mengklaim RUPTL 2021-2030 merupakan RUPTL yang paling hijau, karena digunakan sebagai landasan untuk mencapai target carbon neutral pada 2060 mendatang.
Meski demikian, penggunaan EBT yang dominan pada RUTL 10 tahun mendatang tidak serta merta menggerus prospek emiten penyedia energi fosil . Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menilai, propsek penyedia energi fosil masih tetap baik di tengah rencana penggunaan energi hijau. Sebab, penggunaan energi berbasis fosil tidak mudah untuk langsung ditinggalkan penggunaannya.
“Karena saya meyakini akan memerlukan banyak waktu untuk mengimplementasikan rencana tersebut. Ditambah pertimbangan kekuatan suatu negara dari segi ekonominya dalam membangun pondasi untuk EBT ini,” terang Sukarno kepada Kontan.co.id, Minggu (10/10).
Kemudian, harga yang ekonomis menjadi alasan energi batubara tetap menjanjikan dalam beberapa tahun ke depan.
Asal tahu, sejumlah emiten tambang batubara mulai melakukan diversifikasi ke segmen energi hijau, khususnya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). PT Bukit Asam Tbk (PTBA) misalnya, berencana menggarap proyek pengembangan PLTS di lahan bekas tambangnya yang berlokasi di Ombilin (Sumatra Barat), Tanjung Enim (Sumatra Selatan), dan Bantuas (Kalimantan Timur). Masing-masing lahan bekas tambang akan terpasang PLTS dengan kapasitas mencapai 200 megawatt (MW).
Baca Juga: Investasi kelistrikan PLN dalam 10 tahun ke depan diprediksi mencapai Rp 700 triliun
Saat ini, rencana pembangunan PLTS sedang dalam tahap pembahasan dengan PLN untuk bisa menjadi Independent Power Producer (IPP) dan ditargetkan masuk pada 2022.
Hal yang serupa juga dilakukan oleh PT Indika Energy Tbk (INDY). Maret 2021 lalu, emiten pertambangan batubara ini mendirikan PT Empat Mitra Indika Tenaga Surya (EMITS), sebuah perusahaan penyedia solusi tenaga surya terintegrasi di Indonesia.
Inisiatif ini dilakukan melalui kemitraan dengan Fourth Partner Energy, pengembang solusi tenaga surya terdepan asal India. Secara mayoritas, Fourth Partner Energy ini dimiliki oleh The Rise Fund, social impact fund terbesar di dunia.
Sukarno menilai, diversifikasi yang dilakukan emiten tambang batubara ini akan berdampak positif untuk kinerja dalam jangka panjang. Diversifikasi ini juga baik dalam rangka mengantisipasi pengurangan akan penggunaan batubara. Akan tetapi, yang pastinya dalam jangka pendek proses diversifikasi tersebut akan menghasilkan belanja modal atau capital expenditure (capex) yang besar, sehingga secara tidak langsung valuasi harga emiten yang bersangkutan bisa menjadi turun.
Sukarno menilai, saham-saham penambang batubara yang melakukan diversifikasi jauh lebih menarik dibandingkan dengan emiten yang murni menyediakan EBT. Hal ini karena emiten tambang ditopang bisnis batubara yang harganya masih dalam tren kenaikan.
Sukarno menyematkan rekomendasi overweight saham PTBA dengan target harga Rp 2.870. Meskipun harga saat ini sudah menyentuh target harga wajar yang dipasang Kiwoom Sekuritas, tidak menutup kemungkinan saham PTBA bisa lanjut menguat lagi jika kembali uptrend, karena merespon kenaikan harga batubara yang naik signifikan.
Selanjutnya: Masih terdampak pandemi, begini saran industri untuk mengejar target investasi migas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News