Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Dupla Kartini
KONTAN.CO.ID - Imbal hasil yang ditawarkan Efek Beragun Aset (EBA) PT Indonesia Power dinilai cukup menarik. Produk bertajuk EBA Danareksa Indonesia Power PLN-1 itu disebut memiliki kelebihan. Namun, investor tetap perlu mencermati kelemahannya.
Produk bertenor lima tahun ini membidik nominal maksimal Rp 4 triliun. Instrumen ini ditawarkan mulai 4-11 September 2017. PT Danareksa Investment Management bertindak sebagai manajer investasi dan BRI sebagai bank kustodian.
BNI Sekuritas sebagai salah satu agen penjual menyebutkan, instrumen tersebut menawarkan return berkisar 8%-9%.
"Respon investor bagus sekali, karena return dan strukturnya menarik lantaran ada amortisasi, jadi dari risiko investasi lebih kecil," jelas Direktur BNI Sekuritas Reza Benito Zahar, Rabu (8/9).
Amortisasi yang dimaksud adalah cicilan pokok dengan nilai rata-rata jatuh tempo pada periode 2,5 tahun. Hal ini menjadi semakin menarik karena nilai return yang ditawarkan berada di kisaran 8%-9%. Return ini jauh lebih tinggi dari rata-rata obligasi dengan tenor dan peringkat yang sama seperti SUN di level 6,18%.
Lanjut Reza, respons positif terhadap instrumen EBA ini juga lantaran penerbitnya adalah anak usaha perusahaan pelat merah, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Maka secara efektif, PLN sebagai pembeli tunggal produksi listrik dari sekuritisasi PLTU Suralaya ini menjadi kreditur risk untuk instrumen utang ini.
Namun demikian, I Made Saputra, Analis Fixed Income MNC Sekuritas mengingatkan investor harus berhati-hati dan mempertimbangkan sifat asetnya.
Made menjelaskan, produk ini berbeda dengan EBA yang diterbitkan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN). KIK EBA BTN menggunakan aset dasar berupa tagihan kredit kepemilikan rumah (KPR) BTN. "Pada KIK EBA BTN ada pengalihan aset, di mana aset berupa KPR dipindahkan ke investor. Jadi kalau ada apa-apa dengan BTN maka tidak masalah dengan investor," jelasnya.
Sementara, aset future cash flow yang ditawarkan Indonesia Power bakal membingungkan dari sisi transaksi karena tidak terjadi pengalihan aset pada investor. Istilahnya, pada EBA Indonesia Power sama-sama utang, tapi tidak mengalami perpindahan aset seperti yang terjadi pada KPR BTN.
Namun, ia menyebut, dari sisi investor yang telah membeli produk ini akan tetap aman. "Tapi yang jadi pertanyaan adalah kalau misalnya ada kebijakan PLN yang harus beli listrik dengan harga rendah, maka akan mempengaruhi penerimaan di Suralaya," kata Made.
Maka bila terjadi perubahan harga jual listrik, akan mempengaruhi pendapatan keseluruhan PLN dan imbal hasil pada investor. Pasalnya, sharing revenue sebelumnya telah dialihkan pada investor dan perusahaan harus mencari cara untuk menambal kekurangan tersebut.
"Buat investor ini menarik, tapi harus perhitungkan ini sebagai instrumen hold to maturity," jelas Made.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News