kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PGN: Penerapan open acces butuh US$ 1,2 miliar


Senin, 07 Oktober 2013 / 17:09 WIB
PGN: Penerapan open acces butuh US$ 1,2 miliar
ILUSTRASI. Foto udara kendaraan antre melintasi Gerbang Tol (GT) Cikampek Utama, Karawang, Jawa Barat, Minggu (8/5/2022). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/YU


Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) terus menekan pemerintah untuk segera menerapkan aturan open acces pada pipa gas milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).

Ketua BPH Migas Andy Noorsaman Sommeng beralasan, penerapan open acces akan memudahkan perusahaan selain PGN yang memiliki gas, untuk menyalurkan gas kepada konsumen. “Dengan membuka akses pipa PGN, perusahaan lain bisa menggunakan pipa PGN untuk menyalurkan gas mereka kepada konsumen,” tandas Andy akhir pekan lalu.  

Namun, keinginan Andy Sommeng agar pipa PGN bisa digunakan oleh perusahaan lain seperti para trader gas itu ternyata tidak mudah untuk dilakukan.

Menurut Head Of Corporate Communication PGN Ridha Ababil, agar pipa distribusi PGN dapat dimanfaatkan untuk open acces, maka perlu dilakukan perubahan secara signifikan dari skema desain dan operasi jaringan pipa distribusi yang semula dedicated (single-user) menjadi skema open access (multi-user).

Sejak awal, lanjut Ridha, jaringan pipa distribusi gas PGN dibangun dan didesain untuk dedicated hilir, yaitu dikhususkan bagi pelanggan PGN. Oleh karena itu, apabila desain dan fungsi jaringan gas itu diubah menjadi open acces tentu butuh biaya besar dan waktu yang lama.

Sesuai perhitungan PGN, biaya untuk merubah desain ke open acces mencapai US$ 1,2 miliar atau lebih dari Rp 12 triliun. Pengerjaan proyeknya sendiri butuh waktu sekitar 10–12 tahun. “Menjadikan pipa dedicated menjadi open acces memang tidak semudah membalikkan tangan. Banyak aspek teknis yang harus diperhatikan,” ungkap Ridha di Jakarta, Senin (7/10).

Mengingat kebutuhan biaya untuk merubah pipa gas PGN menjadi open acces begitu besar, sebaiknya penerapan aturan ini tidak perlu dipaksakan. Apalagi, biaya modifikasi pipa yang mencapai lebih dari Rp 12 triliun tersebut pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumen.

Sementara perubahan itu, tidak memberi keuntungan apa pun kepada konsumen. Soalnya, para broker/trader gas hanya menjual kembali gas dari produsen di dalam negeri, bukan sebagai enabler terhadap gas impor.

Biaya modifikasi juga tidak menambah jangkauan pemanfaatan gas bumi ke wilayah baru, karena hanya memodifikasi jaringan pipa di wilayah yang sudah existing. “PGN tidak mungkin membiayai modifikasi pipa dari dedicated hilir menjadi open acces dari dana perusahaan. Bagi kami biaya yang sangat besar itu lebih baik digunakan untuk membangun jaringan pipa baru. Sehingga pemanfaatan gas bumi akan semakin meluas dan mendorong munculnya kluster-kluster industri baru,” katanya.     

Sementara  itu, Wakil Menteri ESDM Susilo Siswoutomo menegaskan, kementerian ESDM masih mengevaluasi program open acces yang diminta oleh BPH Migas. Namun Susilo menegaskan,agar regulasi tersebut dapat mendorong peningkatan pemanfaatan gas di dalam negeri, maka para trader/broker gas wajib membangun infrastruktur gas.

Pasalnya, sampai saat ini belum banyak broker/trader gas yang mau membangun infrastruktur gasnya sendiri. “Saya  sudah mengusulkan kepada SKK Migas agar regulasi mengenai broker/tader gas ini diubah. Setiap broker/trader gas wajib untuk membangun infrastruktur sendiri,” tegas Susilo. (Tribunnews.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×