kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Persepsi negatif dalam lima tahun terakhir jadi pemberat saham BUMN cepat pulih


Senin, 27 April 2020 / 20:45 WIB
Persepsi negatif dalam lima tahun terakhir jadi pemberat saham BUMN cepat pulih
ILUSTRASI. Performa saham-saham BUMN dalam lima tahun terakhir, di mana banyak diantara yang mengalami penurunan valuasi.


Reporter: Benedicta Prima | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada krisis 2008, saham emiten BUMN membutuhkan waktu lebih cepat bangkit bila dibandingkan pemulihan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Akankah tren itu terulang pada krisis tahun ini?

Kepala Riset Praus Capital Alfred Nainggolan mengatakan pada masa krisis 2008, saham-saham BUMN pulih dalam waktu 10 bulan, sementara IHSG membutuhkan waktu 16 bulan. Namun, Alfred berpendapat pada krisis kali ini saham-saham BUMN tidak akan mengulangi sejarahnya tersebut. Hal ini disebabkan karena persepsi negatif yang kuat bagi saham-saham BUMN.

Hipotesa ini, kata Alfred, dibangun dengan melihat performa saham-saham BUMN dalam lima tahun terakhir, di mana banyak diantara yang mengalami penurunan valuasi baik oleh faktor performa keuangan yang turun maupun faktor non-performa keuangan.

Baca Juga: Ini anggota indeks BUMN20 periode Mei-Juli 2020

Alfred menjelaskan posisi akhir 2014, kapitalisasi pasar 20 emiten BUMN mencapai Rp 1.381 triliun, sedangkan per Jumat (24/4) berada diposisi Rp 1.098 triliun sehingga menunjukkan penurunan 21%. Sementara kapitalisasi pasar IHSG di akhir tahun 2014 sebesar Rp 5.228 triliun sedangkan per Jumat (24/4) sebesar Rp 5.199 triliun, artinya hanya turun 0,56%.

"Kinerja tersebut yang menjadi dasar mengenai persepsi pasar terhadap saham BUMN," jelas Alfred kepada Kontan, Senin (27/4).

Persepsi ini terlihat pada saham JSMR yang sejak tahun 2014 telah mengalami penurunan harga saham 46%, padahal aset JSMR dan pendapatan tumbuh signfikan. Hal serupa juga terjadi pada saham ADHI, PTPP dan WIKA yang sudah mengalami penurunan harga lebih dari 40%, sementara fundamentalnya masih tumbuh.

"Contoh lain, kebijakan intervensi dalam harga gas yang merugikan PGAS. Saham PGAS terkoreksi 87% sejak 2014 hingga penutupan Jumat pekan lalu. Intervensi penurunan tarif tol menekan kinerja JSMR sehingga saham ikut tertekan dan seringnya pergantian direksi dan komisaris di BUMN," jelas dia.

Untuk memprediksi waktu pemulihannya, Alfred menggunakan asumsi bahwa di kuartal II-2020 ini IHSG akan kembali menyentuh level bottom karena terimbas data pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi tersebut, pendapatan emiten BUMN di sektor telekomunikasi masih akan cukup solid. Ini sebagai imbas work from home sehingga mengubah perilaku masyarakat untuk bergantung pada kebutuhan data data/IT.

Sayangnya, meski fundamental membaik, Alfred meragukan, harga saham akan mengikuti angka perbaikan fundamental. Sebab dalam kondisi pasar yang masih sangat bearish, perbaikan kinerja fundamental mungkin hanya akan mengurangi aksi jual tetapi belum akan mendorong aksi beli.

"Karena ada pertimbangan terbesar, faktor mikro atau kinerja perusahaan tidak cukup sensitif mempengaruhi investor terhadap keputusan membeli saham. Terbesar masih kondisi makro," jelas Alfred.

Namun, menurut Alfred, sejatinya apabila investor berencana untuk berinvestasi jangka panjang dan sudah memiliki dana yang solid untuk melengkapi kebutuhan lainnya maka dana investasi yang sudah disisihkan bisa mulai masuk ke saham yang sudah murah.

Baca Juga: Saat IHSG pulih, saham emiten bank BUMN diperkirakan jadi pendorongnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×