Reporter: Wahyu Satriani | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Akses investor untuk mendapatkan reksadana akan semakin mudah seiring dengan diberlakukannya aturan baru soal pendaftaran agen penjual efek reksadana (APERD). Namun, pelaku pasar menilai, aturan ini harus dibarengi dengan pemberlakuan beleid lain yang mengatur secara tegas mekanisme dan pengawasan penjualan reksadana untuk menghindari terjadinya penyelewengan atau fraud.
Direktur Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan, aturan ini memang akan mempermudah akses investor pada reksadana sehingga basis investor makin luas. Di luar negeri seperti India, semisal, terdapat distributor independen selain bank. "Profesi seperti akuntan dan financial planner juga dapat menjual reksadana," ujar dia.
Hanya saja, kata Budi, perlu mekanisme untuk mencegah terjadinya kesalahan penjualan atau miss-selling. Bahana sendiri, bakal lebih aktif bertemu dengan para agen guna memberi update soal perkembangan pasar dan juga strategi investasi. Informasi terkait produk juga akan dikirim berkala secara elektronik.
Direktur Emco Asset Management Hans Kwee menimpali, pelaksanaan peraturan ini harus memperhatikan pinsip know your customer (KYC). Ia berpendapat, untuk transaksi dengan nominal besar di atas Rp 1 miliar, manajer investasi tetap harus bertatap muka dengan investor. "Tidak hanya itu, nasabah dengan profil high risk people juga harus dikunjungi oleh manajer investasi," kata Kwee.
Setali tiga uang, Investment Division Head BNI Asset Management Abdullah Umar Baswedan mengatakan perlunya memperketat pengawasan agar tidak terjadi miss-selling ataupun miss-product seiring perluasan jaringan distribusi reksadana. "Pengawasan harus dilakukan lebih intensif," tutur Abdullah
Ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, pertumbuhan industri reksadana saat ini belum terlalu besar. Adanya potensi kasus-kasus fraud dikhawatirkan justru akan memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap industri reksadana.
Ia mencontohkan, potensi adanya kasus seperti yang terjadi di industri asuransi, dimana agen penjual tidak menyampaikan setoran premi dari nasabah ke perusahaan asuransi. "Jangan sampai agen penjual reksadana juga tidak menyampaikan dana pembelian dari investor kepada manajer investasi," papar Lana.
Menurut Lana, aturan yang membolehkan perusahaan ritel dan perseorangan untuk menjual reksadana belum dapat diberlakukan dalam waktu dekat. Sebelum diberlakukan, kata dia, perlu sosialisasi terlebih dahulu secara menyeluruh. "Karena dikhawatirkan akan timbul moral hazard," ujar Lana.
Untuk tahap awal perluasan distribusi reksadana, Lana bilang, bisa dilakukan melalui lembaga keuangan nonbank untuk mempermudah pengawasan. Selain itu, manajer investasi dapat memanfaatkan kantor pos untuk memasarkan produk yang dikelola. "Kantor pos memiliki kelebihan karena mampu mencapai berbagai daerah. Penjualan reksadana juga akan membantu bisnis kantor pos yang selama ini kurang berkembang," imbuh dia.
Analis Infovesta Utama Viliawati menambahkan, perlu edukasi kepada masyarakat mengenai produk reksadana beserta risikonya. Untuk menghindari kerugian, investor perlu mencermati kelayakan agen penjual sebelum membeli reksadana. "Investor dapat melakukan pengecekan, karena agen penjual wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta memiliki pegawai yang bersertifikat wakil agen penjual efek reksadana (WAPERD)," tutur Vilia.
Di samping itu, investor juga harus lebih teliti sebelum membeli produk reksadana dengan mengecek ke OJK. Sebab, seluruh produk reksadana yang dipasarkan wajib terdaftar di OJK. "Diperlukan juga adanya pengawasan yang lebih ketat dari regulator untuk mencegah agen penjual yang bermasalah," kata Vilia.
Sekadar mengingatkan, OJK segera merilis aturan yang mengizinkan APERD bekerjasama dengan pihak lain yang memiliki jaringan luas menjadi sub agen penjualan reksadana. Pihak lain ini, meliputi kantor pos, minimarket atau supermarket, tempat penjualan properti, dan gerai penyedia jasa telekomunikasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News